Lihat ke Halaman Asli

Rasionalitas dan Rasionalisasi: Bagian Penutup—Rangkuman dan Penjelasan Tambahan

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh: Andy Laksmana Sastrahadijaya

Bagian Pertama dari artikel serial ini mengupas kepercayaan yang lebih bermakna ‘trust’ dan keimanan yang bermakna denotatif ‘faith’. Rasa percaya dalam arti ‘trust’ jelas memerlukan pembuktian terhadap entitas yang bersangkutan: apakah ia memang terbukti layak untuk dipercaya, apakah ia memenuhi janji yang telah diucapkannya, apakah pernyataannya berdasarkan pada kenyataan yang dapat kita verifikasi, apakah ia melakukannya secara rasional, etis, dan tidak melanggar moralitas kita, dsb. Terdapat perbedaan mencolok antara SKT dan SKR/sebagian SKRT dalam bersikap, berperilaku, dan bertindak dalam rangka menyelidiki bukti-bukti itu. SKT lebih memakai rasionalitas dan segala kemampuan lainnya untuk menyelidiki apakah rasa percaya/trust itu terbukti tidak salah ditempatkan, sedangkan SKR/SKRT lebih mengandalkan rasionalisasi sebagai pereda ketidaknyamanan psikologis dalam menempatkan rasa percaya itu. Lalu, apakah iman atau ‘faith’ tidak memerlukan pembuktian atau ujian dari pihak orang beriman itu sendiri? Di sinilah SKT sangat berbeda pandangan dengan SKR/SKRT. SKT akan berpandangan bahwa karena faktor risiko berat yang akan ditanggungnya selama sisa hidupnya di dunia ini jika ia salah menempatkan keimanannya, ia akan jauh lebih mencurahkan segala energi dan kemampuannya (daya kognitif, daya rasa, daya intuisi, dsb.) dalam menyelidiki kebenaran apa yang diimaninya itu. Sebaliknya, para SKR/SKRT pada umumnya bersikap ‘pasrah bongkokan’ (sepenuhnya secara keseluruhan) kepada otoritas sistem kepercayaannya (Nabi, ulama, ustad, Kitab Suci, Kitab rujukan lainnya, dsb.)

Kebanyakan orang memeluk suatu sistem kepercayaan karena keterkondisian selama mereka dibesarkan, disertai dengan pembebanpengaruhan mengenai iming-iming dan ancaman (misalnya, surga dan neraka) yang membuat mereka melekat secara psikologis. Dengan batin yang terkondisi seperti itu para SKT, berkat kecerdasan terpadu mereka, akan selalu memeriksa apakah imannya itu mampu memberikan kepadanya kebenaran dan kebahagiaan yang dijanjikan oleh para otoritas agamanya. Dengan kata lain mereka menyadari sepenuhnya bahwa apa yang mereka anggap sebagai “kebenaran” itu mesti diselidiki dan dibuktikan sebagai kebenaran. Sebaliknya, karena kerendahan kecerdasan terpadunya, hampir semua SKR/SKRT tidak memiliki kapasitas dan kemampuan untuk memahami dan menyadari bahwa “kebenaran” anggapan yang mereka peluk itu perlu diselidiki kebenarannya; meskipun kepada mereka telah ditunjukkan bahwa apa yang dipercaya atau diyakininya sebagai kebenaran dan kenyataan itu pada hakikatnya hanyalah merupakan “kebenaran” dan “kenyataan” anggapan belaka. Mereka bahkan melakukan segala macam rasionalisasi yang terkadang tampak menggelikan bagi orang yang masih dapat berpikir, demi untuk meredam ketidaknyamanan psikologis mereka sendiri ketika menerima penjelasan para SKT maupun para ateis mengenai ketidakrasionalan pemikiran, sikap, perilaku, dan tindakan mereka yang berdasarkan kepercayaan atau keyakinan membuta itu. Padahal tidak jauh-jauh mereka dapat becermin pada teman seiman mereka yang menempati ‘maqom’ lebih tinggi: bukankah mereka juga melakukan penyelidikan yang sama seperti yang dilakukan oleh para SKT? Bukankah mereka mampu mencapai ‘maqom’ yang lebih tinggi dari sekedar ‘maqom’ syariat karena kegigihan mereka dalam menguji diri dan keimanannya sampai mereka menemukan kebenarannya? Para SKR ini memiliki mata, tetapi tidak melihat; mereka memiliki telinga tetapi tidak mendengar.

Bagian kedua dari artikel serial ini menjelaskan potensi keimanan yang dapat diaktualisasikan sebagai ‘madu’ kehidupan atau menjadi ‘racun’ kehidupan ini. Dalam sistem kepercayaan Katholik terdapat ujar-ujar bijak, “Jika engkau memiliki iman sebesar biji sawi saja, engkau dapat memindahkan gunung dan mengeringkan lautan.” Lain lagi dengan kepercayaan Kejawen yang mengenal frasa kata, “sabdo dadi sabdo pandhito ratu—uni iku anggowo wujud,” yang dapat ditafsirkan secara bebas memiliki makna yang kurang-lebih sama dengan “kun fayakun”nya kepercayaan Islam. Tentu saja penggambaran mengenai ‘iman’ itu hanyalah sekedar perumpamaan saja. ‘Iman’ menjadi begitu dahsyatnya (dapat memindah gunung…) jika ia diaktualisasikan menjadi keNYATAan, atau dengan kata lain, “kebenaran” anggapan ditransformasikan menjadi kebenaran sejati. Begitu kebenaran sejati itu telah ditemukan, muncullah ‘madu’ kehidupan berupa kebahagiaan sejati. Sebaliknya, keimanan yang dipegang erat-erat (atau bahkan diperTEBAL) dengan penuh kelembaman (stagnasi) akan merupakan racun kehidupan yang mematikan dan mendatangkan penderitaan tidak terperikan. Orang beriman yang telah mengaktualisasikan keimanannya dengan sempurna memiliki ‘sabdo dadi’, yakni setiap ucapannya menjadi kenyataan atau maujud, sedangkan orang beriman yang mandeg pada imannya adalah cerminan pepatah ‘gentong kosong nyaring bunyinya’.

Selanjutnya, artikel bagian kedua serial ini juga menggambarkan SKR yang menggemari segala sesuatu yang bersifat permukaan/penampilan (pakaian, jenggot, celana cingkrang, dahi kehitam-hitaman, dan atribut keagamaan lainnya) alih-alih menyelami kerohaniannya secara sedalam-dalamnya. Cinta berlebihan kepada aksesori keagamaan dan tingkah laku mencolok yang mengundang perhatian dan disoroti orang banyak dapat menjerumuskan orang beriman yang bersangkutan ke dalam rawa kekufuran dan kemusyrikan. Jargon-jargon keagamaan yang terlalu sering diucapkan tidak pada tempat dan konteksnya yang tepat akan menjadi kebiasaan mekanistis yang nilainya tidak lebih dari sekedar kelatahan tanpa makna. Kita lihat saja beberapa selebritas layar kaca kita yang suka sekali menampilkan ucapan-ucapan relijius secara mekanistis, yang telah menjadi bahan olok-olok tidak ada habis-habisnya.

Bagian ketiga serial ini menjabarkan bahwa iman tidak dapat dipisahkan dengan kesetiaan, yang pada gilirannya tidak terpisahkan dari kelayakdipercayaan. Iman sangat berkaitan dengan kesetiaan karena memang benih iman ditanamkan secara satu paket dengan benih kesetiaan dan ingatlah bahwa iman itu mengandung kemelekatan psikologis yang mengakibatkan orang beriman mengidentifikasikan dirinya dengan apa/siapa yang diimaninya itu, apa saja yang dipersepsikannya telah menghina apa/siapa yang diimaninya itu dirasakannya sebagai penghinaan langsung terhadap dirinya. Tidak usah jauh-jauh, di Kompasiana ini saja saya beberapa kali melihat tulisan serius dari orang beriman yang mengaku secara tegas dan terang-terangan bahwa dirinya siap membunuh orang yang berani menghina Nabinya. Jelas secara pribadi ia tidak mungkin mengenal Nabinya itu, seperti ia juga tidak mungkin secara pribadi mengenal kakek dari kakeknya almarhum. Informasi mengenai keduanya berkedudukan sama, yakni sekedar ‘jare-jarene’ (katanya) orang. Bedanya ialah bahwa kepada Nabi (yang sebenarnya tidak memiliki hubungan apa pun dengannya) ia sangat melekat secara psikologis dan kepada kakek dari kakeknya (yang secara genetik sebenarnya masih berhubungan darah dengannya) ia tidak dikondisikan untuk melekat secara psikologis begitu.

Sehubungan dengan perihal ‘kelayakdipercayaan’ saya ingin membahas secara lebih terperinci kalimat terakhir Bagian Ketiga serial artikel ini, yakni “SKT memertanyakan segala yang memang layak untuk dipertanyakan dan diragukan dan SKR menerima begitu saja dalam kondisi apa saja.” Kalimat saya tersebut sangat relevan terhadap masalah kelayakdipercayaan. Menurut Anda, siapakah entitas yang paling layak untuk dipercaya, sehingga apa saja yang diperintahkannya, kita memang layak menerimanya tanpa perlu menyelidikinya lagi? Jawaban Anda mungkin tidak jauh berbeda dengan jawaban saya, yakni Entitas Absolut/Sang Absolut. Bagaimana dengan orangtua kandung kita sendiri? Ya, sewaktu kita kecil dan belum berkembang kecerdasan kita, mereka mungkin merupakan entitas yang selalu kita turuti tanpa dipertanyakan. Lalu setelah kecerdasan dan kemampuan kita berkembang, dengan sendirinya, segala kecerdasan terpadu (kognitif, adaptif, emosional, spiritual, atau dengan kata lain apapun ia hendak disebut) dan kemampuan terpadu kita (panca indera, daya pikir, daya rasa, ‘indera ke-6’/ESP, intuisi, hati nurani, dsb.), merupakan sesuatu yang bagi kita memang layak untuk dipercaya. Jadi, selain Sang Absolut itu sendiri, yang paling layak dipercaya bagi diri saya sendiri ialah segala kecerdasan dan kemampuan murni diri saya sendiri yang tidak terkondisi atau terbebanpengaruhi oleh segala kemelekatan psikologis negatif dalam bentuk apapun. Dengan segala kecerdasan dan kemampuan yang ada pada diri kita inilah kita menyelidiki segala sesuatu dalam hidup ini yang memang layak dan berharga untuk diselidiki kebenarannya.

Sebagian SKR/SKRT mungkin akan menyangkal kebenaran pernyataan saya di atas dengan mengatakan bahwa segala kecerdasan dan kemampuan manusia itu kan terbatas, masak sih yang terbatas itu layak dipercaya? Yang dikatakan serba terbatas itu kan aktualisasi dari POTENSI kecerdasan dan kemampuan kita saat ini dan itulah satu-satunya yang kita miliki saat ini. Tingkat aktualisasi itu akan semakin meningkat asalkan kita tidak mandek/statis/lembam karena pemikiran, perilaku, sikap, dan perbuatan kita sendiri. Yang berabad-abad lalu kita sama sekali tidak tahu, kini kita menguasai pengetahuannya. Kita lihat saja kemajuan sains dan teknologi. Para neurosaintis modern bahkan berani menyatakan secara ilmiah bahwa otak manusia baru teraktualisasi potensinya hanya sekian persen saja. Kita sebagai manusia berpotensi mengaktualisasi diri kita sendiri sampai titik optimum asalkan kita tidak menghabiskan waktu dan energi untuk berkhayal sekedar berkhayal, menciptakanmimpi-mimpi dan harapan kosong sekedar mipi dan harapan kosong belaka. Ubahlah khayalan dan mimpi Anda menjadi kenyataan! Di sini dan pada saat ini juga! Amin?

Bagian Pertama, Bagian Kedua, Bagian Ketiga.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline