Oleh: Andy Laksmana Sastrahadijaya
Baru saja saya membaca artikel seorang Kompasianer di kolom Filsafat (http://filsafat.kompasiana.com/2013/03/09/jangan-khawatir-hidup-setelah-mati-itu-tidak-ada-535370.html) yang pada intinya dengan tegas menyatakan bahwa alam akhirat itu tidak ada dan ia pun mengakui bahwa itu adalah kepercayaan atau keyakinannya belaka dan dengan jujur ia mengakui tidak dapat membuktikannya kepada orang lain. Saya pun secara spontan memberi komentar positif sebagai berikut: “Nah, inilah contoh penulis yang jujur dan berterus-terang. Ia menyatakan tidak adanya alam akhirat itu dan mengakui bahwa pernyataannya adalah berdasarkan keyakinannya sendiri, yang tentu saja tidak dapat dibuktikan kepada orang lain yang tidak meyakininya secara sama. Begitu juga orang yang meyakini adanya alam akhirat seharusnya juga bersikap jujur dan berterus-terang bahwa ia tidak dapat membuktikan kebenarannya kepada orang lain yang tidak meyakininya. Tidak berdalih dan berputar-putar membuat berbagai macam argumen yang pada intinya hanyalah menunjukkan kepercayaan atau keyakinannya sendiri saja, tanpa dapat membuktikan kebenarannya kepada orang lain yang berkepercayaan lain atau tidak berkepercayaan. Sikap jujur dan berterus-terang memerlukan keberanian/nyali, dan kebanyakan orang memang tidak bernyali.”
KBBI membatasi kata “kepercayaan” sebagai berikut: [n] (1) anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yg dipercayai itu benar atau nyata: ~ kpd makhluk halus masih kuat sekali di lingkungan petani; (2) sesuatu yg dipercayai: bagi mereka hal itu bisa menghilangkan ~ rakyat kpd para pemimpinnya; (3) harapan dan keyakinan (akan kejujuran, kebaikan, dsb): hal itu dapat menghilangkan ~ rakyat kpd pemimpinnya; (4) orang yg dipercaya (diserahi sesuatu dsb): pemimpin itu sedang berunding dng orang-orang ~ nya dr daerah; (5) sebutan bagi sistem religi di Indonesia yg tidak termasuk salah satu dr kelima agama yg resmi: tokoh itu adalah penganut aliran ~
Jelaslah dari definisi (1) di atas bahwa ‘kepercayaan’ itu adalah anggapan atau keyakinan bahwa yang dipercayai itu benar atau nyata. Dengan kata lain, kepercayaan adalah anggapan (sangkaan; pendapat; pandangan) bahwa sesuatu yang dipercayainya itu (misalnya Tuhan, alam akhirat, surga-neraka, dsb.) adalah benar atau nyata. Bagi orang yang memercayai atau meyakini adanya hal-hal tersebut dalam tanda kurung, mereka dianggap benar-benar ada atau nyata-nyata ada, meskipun ia sama sekali tidak dapat membuktikan atau menunjukkan kebenaran atau kenyataan itu kepada orang lain yang tidak memercayainya. Di sini jelaslah bahwa kepercayaan itu bersifat pribadi dan orang yang berusaha membuktikan kebenaran dari kepercayaannya kepada orang lain dan orang lain yang meminta bukti kebenaran dari kepercayaan pribadi orang itu adalah sama-sama pandirnya.
Nah, sebagian pertanyaan yang diajukan melalui judul di atas terjawab sudah. Kepercayaan itu pada intinya tidak dapat dibuktikan kebenarannya karena ia hanyalah sebuah anggapan pribadi dari sudut pandang pribadi bahwa apa yang dipercayai itu adalah benar atau nyata. Seandainya kepercayaan itu dapat dibuktikan kebenarannya, ia tidak lagi bernama “kepercayaan”, melainkan “kebenaran”. Sekalipun demikian, orang yang telah menganggap sesuatu sebagai kebenaran atau kenyataan biasanya terkondisi sedemikian beratnya sehingga lama-lama ia benar-benar meyakini bahwa apa yang dianggapnya benar atau nyata itu menjelma sebagai kebenaran atau kenyataan baginya. Sampai di sini, secara psikologis atau kejiwaan, ia mulai terganggu daya pikir dan daya rasanya karena sesuatu yang dianggap benar dan nyata, kini baginya menjadi kebenaran dan kenyataan. Secara tidak sadar ia benar-benar telah membodohi dirinya sendiri.
Kepercayaan ini tertanam dalam kejiwaan manusia antara lain melalui ‘rasa takut’. Sejak kita kecil, otak sebagian dari kita telah ditanami benih rasa takut yang dikaitkan dengan kepercayaan (agama) oleh orang-orang terdekat kita sendiri, misalnya orangtua, kakak, paman, bibi, kakek, nenek, dsb. Orang-orang terkasih kita ini sering tidak menyadari bahwa mereka (dengan alasan demi kebaikan anak itu sendiri) telah menanamkan benih racun rasa takut itu dalam benak anak yang mereka kasihi itu persisnya karena mereka juga telah “dibodohi” dan “membodohi” (entah secara sadar atau tidak) diri sendiri bahwa kepercayaan mereka itu merupakan kebenaran atau kenyataan dengan rasa takut yang telah merasuki kejiwaan mereka pula. ‘Kebenaran’/’kenyataan’ ini mesti ditanamkan kepada anak-anak sejak kecil agar mereka tidak tersesat di jalan, begitulah mungkin jalan pikiran mereka yang dipenuhi dengan rasa takut.
Nah, apakah rasa takut ini nyata? Tentu saja. Kita dapat melihat buktinya sendiri dalam diri sendiri maupun dalam diri orang lain, bahkan kita dapat merasakannya sendiri secara nyata. Amatilah orang-orang yang berkepercayaan ‘fanatik’ atau ‘moderat’ atau bahkan yang ‘setengah-setengah’ saja. Mereka dipenuhi dengan rasa takut: takut ini takut itu, jika begini nanti begitu, jika begitu nanti begini, jika tidak begini nanti begitu, jika tidak begitu nanti begini, dsb., dst. Ini dan itunya atau begini dan begitunya dapat Anda isi sendiri sesuai dengan pengamatan Anda masing-masing. Rasa takut ini melahirkan berbagai turunan “penyakit” lainnya seperti rasa tidak percaya diri, gemar melarikan diri dari kenyataan, suka berbohong, suka munafik, penuh dengan kebencian, kebodohan, dsb., dst.
Sebenarnya, selain rasa takut, ada alat lainnya yang digunakan untuk menyebarkan atau menanamkan kepercayaan, yakni iming-iming. Namun jika saya menguraikan hal iming-iming ini tulisan ini menjadi OOT alias melenceng dari topiknya, yakni: kepercayaan dan rasa takut. Selamat merenung dan menanggapinya, jika Anda tergerak hatinya. Terima kasih. J
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H