Lihat ke Halaman Asli

Pikiran Sebagian Orang Beriman di Forum Kompasiana

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Andy Laksmana Sastrahadijaya

Artikel ini pada intinya tidak dimaksudkan untuk mencela sebagian orang beriman, apalagi secara keseluruhan, atau melecehkan sistem kepercayaan atau agama tertentu atau agama secara keseluruhan, seperti yang sering dituduhkan oleh seorang Kompasioner yang terkadang merasa dirinya dan agamanya sedang “diserang” ketika ia mencoba berkomentar setelah sekilas membaca artikel singkat tulisan saya tanpa benar-benar memahami isinya. Oleh sebab itulah judul artikel ini membatasi topik bahasan pada pikiran sebagian orang beriman di Kompasiana ini saja. Jika Anda yang sedang membaca artikel ini kebetulan termasuk orang beriman, silakan Anda memeriksa pikiran sendiri secara mendalam dan mencari tahu apakah pikiran Anda termasuk yang sedang saya gambarkan faktanya dalam tulisan saya ini, dan jika terdapat bagian dari pendapat saya ini yang menurut daya pikir Anda bertentangan dengan fakta yang Anda temukan mengenai pikiran Anda sendiri yang sebenarnya, ruang komentar yang tersedia di bawah ini mungkin dapat kita gunakan untuk mendiskusikannya secara cerdas dan damai.

Seperti biasanya, artikel singkat yang saya tulis memerlukan rujukan tulisan saya lainnya karena beberapa konsep yang saya pakai tidak memungkinkan saya untuk menjelaskannya dalam satu tulisan singkat. Seperti misalnya kata iman di sini saya sinonimkan dengan kata kepercayaan atau keyakinan yang mungkin dapat Anda pahami maksudnya secara lebih mendalam setelah Anda membaca artikel ini karena yang saya maksudkan orang beriman dalam tulisan ini adalah termasuk orang beriman yang eksoteris, itu pun hanya sebagian dari mereka. Lalu, bagi Anda yang belum membacanya, Anda mungkin perlu menyimak artikel terakhir saya yang ini sebab pikiran yang dimaksudkan dalam tulisan ini ialah sekumpulan pikiran yang telah membeku dan disebut sebagai ego alias yang diibaratkan sebagai ‘fatamorgana berwarna’ sebagaimana yang saya maksudkan dalam artikel terakhir itu.

Pikiran manusia pada umumnya merupakan cerminan atau ungkapan dari sesuatu yang diketahui atau yang telah dialami oleh yang daya pikir orang yang bersangkutan. Dengan kata lain, daya pikir manusia secara bawaan memang tidak mampu menghasilkan sesuatu yang tidak diketahui atau dialaminya, kecuali dengan meminta bantuan saudaranya yang bernama daya khayal dengan produk khayalannya yang sering dikelirukan sebagai pikiran. Ego atau bundel pikiran sebagian orang beriman sangat terkondisi dengan beban pengaruh ajaran orangtua, para guru, teman seiman, para petinggi agama, buku-buku tentang keTuhanan yang dibacanya, dsb., sehingga timbul keinginan dalam daya pikirnya untuk mengetahui banyak hal yang sebenarnya tidak mungkin dimengerti atau dialaminya seperti, misalnya, Tuhan, akhirat, surga-neraka, malaikat, setan, roh, kemukjizatan, dsb., dst. Jadi, dengan apa yang diketahui oleh sebagian orang beriman berdasarkan keterkondisian beratnya itu, daya pikir mereka berusaha memahami banyak hal yang sebenarnya tidak bakal diselaminya. Jelaslah bahwa pikiran hanyalah dapat mengungkapkan apa yang telah diketahui dan dialaminya sendiri atau dianggap diketahui dan dialami oleh orang lain berdasarkan kepercayaan/keyakinannya, atau apa yang telah diajarkan kepadanya oleh orang lain, atau apa yang telah dikumpulkannya berdasarkan banyak pengalaman hidup dan sekarang tersimpan dalam otak sebagai ingatan.

Sementara itu, si ego yang telah membengkak sebesar gunung biasanya, baik dengan disadari maupun tidak disadarinya, menganggap kepercayaan/keyakinannya sebagai kebenaran atau kenyataan, dengan mengabaikan fakta bahwa kebenaran mereka itu hanyalah merupakan “kebenaran” atau “kenyataan” anggapan. Jika mereka menayangkan semacam tulisan ‘propaganda’ keagamaan di forum Kompasiana ini, mereka terpaksa memakai berbagai macam dalih pembenaran dan teknik cocokologi untuk menunjang ‘argumentasi’ mereka yang berdasarkan apa-apa yang sebenarnya tidak diketahuinya sendiri secara langsung. Anda dapat menemukan sendiri beberapa artikel yang saya maksudkan ini khususnya di kanal filsafat dan tersebar di kanal-kanal Kompasiana lainnya, dan juga berbagai komentar sebagian orang beriman di artikel-artikel para Kompasioner lain yang sering mereka tuduh sebagai kaum materialis atau ateis, semata-mata karena mereka berseberangan pendapat dengan pendapatnya sendiri sebagai orang beriman.

Dapatkah pikiran menyadari fakta atau kenyataan bahwa dirinya tidak mempunyai kecakapan untuk menangkap yang memang tidak diketahuinya?

Sebagai manusia yang berakal cerdas dan jernih, sudah pasti jika kita melihat dengan jelas bahwa pikiran kita tidak mampu mengendusapa yang tidak dimarfuminya, timbullah keheningan dalam batin kita.Namun tidak demikian halnya dengan sebagian orang beriman. Keheningan ini mustahil terdapat dalam batin mereka karena mereka merasa bahwa mereka dapat menangkap yang tidak dikenal dengan kapasitas apa yang telah mereka ketahui atau percayai, dengan demikian mereka menimbulkan banyak kebisingan dan kekacauan dalam batin mereka sendiri.Mereka akan banyak berbicara, banyak menolak fakta, memertahankan diri dari sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dipertahankan; mereka akan berusaha menemukan suatu cara untuk mengetahui apa yang mustahil dimengerti oleh daya pikirnya itu. Orang seperti mereka ini sering melarikan diri dari kenyataan hidup sehari-hari, mereka mencari keamanan di dunia ini dan di alam akhirat dalam sistem kepercayaan yang merangkap dan membatasi mereka sendiri, dengan berbagai pelarian diri dari kenyataan hidup sehari-haripada saat ini di sini. Bila mereka mengalami berbagai penderitaan, mereka mengimani bahwa mereka sedang berada dalam ujian dzat yang Maha Kuasa, dan berharap sebagai akumulasi pahala hasil lulus ujian sementara ini mereka akan menikmati surga abadi. Rasa takut terhadap hukuman ‘neraka’ dan rasa serakah terhadap pahala ‘surgawi’ abadi membuat daya pikir tumpul sehingga mereka mengarang konsep mengenai retribusi, atau konsep mengenai hukuman dan pahala. Mereka sering menyebutnya sebagai keadilan Ilahi. Mereka sama sekali tidak mampu berpikir jernih bahwa konsep keadilan Ilahi semacam ini tidaklah mencerminkan keADILan sama sekali. Masak sih orang berbuat kejahatan sementara selama sekian jangka waktu yang sangat terbatas dijatuhi hukuman abadi di neraka jahanam dan orang yang melakukan ‘the so-called’ kebajikan sementara dan sangat terbatas waktu dan kapasitasnya diberi pahala SURGA abadi? Dan mereka ini dengan pandirnya menamakan ketetapan yang sama sekali tidak adil ini sebagai keadilan dari Allah s.w.t.

Beberapa di antara orang beriman menganggap dirinya sedang mencari kebenaran. Siapakah sesungguhnya yang merumuskan pencarian kebenaran ini? Ia tidak lain adalah si ego dengan pikirannya yang terkondisi. Seperti yang kita ketahui dari uraian di atas, gerakan mencari ini hanya dapat berjalan dari apa yang telah diketahui ke apa yang dapat atau berpotensi untuk diketahui oleh daya pikir. Contoh kongkritnya ialah pencarian ilmiah dalam sains. Pencarian dalam sains yang dituangkan dalam bentuk eksperimen dan penyelidikan, termasuk pengamatan, dengan metode penalaran induktif maupun deduktif, adalah berdasarkan pada apa yang telah diketahui atas penemuan ilmuwan itu sendiri atau para ilmuwan lainnya dalam bidang yang sama. Maka ada pepatah, saintis memandang jauh ke depan jangkauan cakrawala wawasannya dengan berdiri pada pundak saintis sebelumnya.

Sebagian orang beriman memandang rendah pencarian atau penyelidikan yang dilakukan secara valid dengan metode ilmiah yang menghasilkan berbagai penemuan ilmiah yang dapat diverifikasi kebenarannya oleh para ilmuwan dalam bidang yang sama. Sebagian orang beriman melecehkan saintis dengan mengatakan bahwa mereka itu berpaham materialistis dengan pandangan yang ber’mata satu’, tanpa menyadari bahwa di antara banyak saintis itu juga terdapat orang beriman juga. Dalam melakukan pekerjaan dan eksperimennya sebagai saintis, jelas mereka untuk sementara meninggalkan jubah orang berimannya dan mengenakan jubah ilmuwan dengan perhatian penuh sebagai pelaku sains, bukan pelaku keyakinan atau kepercayaan. Dan betapa munafiknya orang beriman yang merendahkan kontribusi bidang sains materialistis itu, namun dalam kehidupan sehari-hari mereka dengan senang hati memanfaatkan hasil teknologi berbagai orang “bermata satu” itu. Jika mereka hendak bepergian jauh, mereka memakai pesawat terbang (yang ditemukan oleh orang “bermata satu”, eh, mungkin malah ateis pula). Jika mereka terkena serangan jantung, mereka segera dibawa ke UGD RS terdekatagar dapat ditangani secara dini dengan memanfaatkan ilmu kedokteran modern, yang ditemukan oleh para saintis dalam bidang kedokteran, dsb., dst.

Oleh sebab itulah sebagian orang beriman yang tidak dapat menalar dengan baik itu mestinya segera menyadari bahwa gerak pikiran mereka itu tidak akan pernah dapat mengungkapkan apa yang tidak diketahuinya, dan seyogianya jangan mengklaim bahwa apa saja yang diungkapkan oleh pikiran mereka itu adalah suatu kebenaran mutlak, yang sesungguhnya hanyalah “kebenaran” anggapan relatif belaka. Itulah hal penting yang harus mereka pahami; itulah hal mendesak yang harus disadari oleh pikiran mereka.Dengan demikian, tanpa rangsangan apapun, tanpa tujuan apapun, pikiran mereka akan menjadi tenang dan diam, tidak berisik dan mengganggu batin mereka sendiri seperti keadaan sekarang ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline