Oleh: Andy Laksmana Sastrahadijaya
Kepolosan mengandung nuansa arti kesederhanaan dan kejujuran serta ketulusan hati. Batin manusia atau psike atau jiwa dalam tulisan ini secara psikologis memiliki berbagai daya yang secara garis besarnya terdiri atas daya pikir, daya rasa, daya mau, daya khayal, daya ingat, dsb. Masing-masing daya tersebut secara berturut-turut menghasilkan pikiran, perasaan, kemauan, khayalan, ingatan, dsb. Perjalanan batin manusia di dunia ini dimulai sejak ia dilahirkan dan diakhiri ketika menjelang kematiannya. Batin bayi yang penuh dengan kepolosan mulai ternoda sejak ia menerima pengondisian/kebebanpengaruhan pertamanya, lalu diperberat ketika ia memasuki masa balita, masa remaja, dewasa, dan manula. Dalam tulisan ini, kita hanya akan menyoroti dua jenis pengondisian yang pada umumnya sangat membebanpengaruhi perjalanan batin manusia Indonesia, yakni pengondisian dari suatu sistem kepercayaan atau agama dan pengondisian dari ilmu pengetahuan atau sains.
Jabang bayi dilahirkan dengan penuh kepolosan, batin atau jiwanya menurut suatu teori adalah tabula rasa, yakni putih, bersih, suci yang dalam perjalanannya mengarungi dunia fana ini akan menjadikannya ternoda dengan berbagai beban-pengaruh dari lingkungannya. Kepolosan biasanya diasosiasikan dengan keadaan alami manusia yang penuh dengan kegembiraan dan kebahagiaan alami dengan batin tanpa beban pengaruh berarti, seperti misalnya kehidupan anak-anak kecil. Ketika kita kecil, segala sesuatu berjalan sebagaimana adanya, bagi kita, pohon adalah pohon, orang adalah orang, kuda adalah kuda, langit adalah langit, matahari adalah matahari, lapar adalah lapar, haus adalah haus, sakit adalah sakit, dsb. Daya pikir, daya rasa, daya mau, daya khayal, daya ingat anak-anak berfungsi secara alami pula tanpa beban pengaruh berarti. Mereka berpikir secara apa adanya dan merasakan secara apa adanya, ketika ia merasa lapar, pikirannya akan sepakat dengan rasanya itu dan mulutnya pun mengucapkan kata lapar, lalu kemauan mengantarkannya menuju tempat makanan. Ketika mereka merasa sakit, pikiran dan ucapannya tidak pernah menentang rasa sakit itu dengan menolaknya atau membohongi dirinya atau diri orang lain. Ucapan, pikiran, perilaku, dan tindakan menyatu dalam kepolosan. Itulah sebabnya anak dalam kehidupan normal cenderung bersikap 'ceplas-ceplos' karena batinya yang penuh dengan kepolosan. Berbagai daya batinnya juga berfungsi secara alami sebagaimana adanya tanpa beban pengaruh, tanpa mengenai nilai baik dan buruk, ia melihat tanpa kaca mata berwarna-warni. Daya khayalnya pun berfungsi secara alami: ia mewarnai awan dengan warna ungu terong, mewarnai air laut dengan warna jingga, dan sebagainya sesuai dengan imajinasinya sendiri. Ingatannya pun mencatat secara apa adanya. Anak-anak, karena kepolosan batin dan belum berkembangnya berbagai daya dalam jiwa-raganya, selalu berkenaan dengan fakta dan kenyataan yang dihantarkan oleh panca indera dan daya kognitif (daya pikir) yang masih terbatas kemampuannya. Dengan kata lain mereka tidak pernah melarikan diri dari fakta dan kenyataan sesuai dengan yang dipersepsinya secara langsung, meskipun persepsinya sering keliru karena kebelumberkembangan kemampuannya itu sendiri. Karena kepolosan inilah secara alami dan tidak disengaja dan tidak disadari kebanyakan anak-anak merasakan keindahan hidup 'saat ini di sini', seperti yang dijalani oleh para orang arif pada zaman ini.
Sesuai dengan perkembangan usia dan berbagai daya batinnya, anak-anak mulai menerima beban pengaruh dari dua sumber utama pengondisian yang pada umumnya diterima oleh anak-anak Indonesia: yakni sistem kepercayaan/agama dan ilmu pengetahuan/sains. Kedua-duanya dituangkan dalam berbagai mata pelajaran di sekolah sejak dari TK sampai perguruan tinggi.
Dua jenis pengondisi ini memakai metode dan teknik pengondisian yang berbeda. Sistem kepercayaan/agama memakai metode dan teknik pengondisian melalui rasa takut dan iming-iming, melalui otoritas dengan segala macam eksploitasinya, melalui proses 'cuci-otak', melalui penanaman berbagai kesimpulan tanpa penyelidikan, melalui pembenaran dan penanaman ketahyulan, melalui ritual dan upacara keagamaan, melalui dogma, dsb., dst; sebaliknya, sains memakai metode dan teknik pengondisian melalui pemertanyaan dan keraguan, melalui penyelidikan dan penelitian, melalui pengamatan dan percobaan/eksperimen, melalui penalaran deduktif dan induktif, melalui penemuan saintis sebelumnya sebagai dasar penyelidikan dan hipotesa, melalui peninjauan dari teman sesama saintis (peer reviews), dsb.
Sistem kepercayaan mengondisikan orang, khususnya para penganutnya, agar tidak berpikir jernih dan kritis terhadap sistem kepercayaannya sendiri, menabukan metode pemertanyaan dan peraguan terhadap sistem kepercayaannya sendiri, meninabobokan penganut dengan berbagai kejadian masa lalu (baik yang nyata maupun yang direkayasa) dan lamunan indah masa depan yang kini berupa khayalan/ilusi, dsb; sebaliknya, sains (dalam berbagai bidang dan cabangnya) TIDAK mengondisikan orang awam secara yang dilakukan oleh sistem kepercayaan itu. Sistem kepercayaan (karena hakikat dari kepercayaan itu sendiri) berusaha membimbing umatnya ke jalan yang dianggapnya benar, mengajarkan perilaku yang dianggapnya benar, menanamkan berbagai kebaikan yang dianggapnya benar, mengajarkan berbagai ritual dan upacara untuk mencapai sesuatu yang dianggapnya benar; sedangkan sains TIDAK memaksakan sesuatu yang dianggapnya sebagai kebenaran. Sains tidak pernah menyajikan kebenaran sebagai sesuatu yang mesti dipercaya begitu saja tanpa penyelidikan dan penelitian yang seksama sesuai dengan berbagai kaidah sains itu sendiri. Sistem kepercayaan menciptakan keterikatan, perbudakan, dan ketergantungan. Sains menciptakan kemandirian, memberi berbagai manfaat kepada umat manusia dalam bentuk teknologi terapan yang memudahkan dan menyamankan manusia dalam kehidupan sehari-hari, menciptakan manusia yang berpikir berdasarkan kecerdasan sendiri, dsb.
Pengondisian dari sistem kepercayaan membuat anak-anak (baik secara suka rela maupun terpaksa, baik secara disadari maupun tidak disadari) akan kehilangan kepolosannya, baik secara perlahan-lahan maupun secara drastis tergantung dari kekuatan pengondisiannya dan ketangguhan kejiwaan si anak itu sendiri. Sebaliknya, sains mengondisikan anak-anak tanpa menodai kepolosannya. Ia memungkinkan anak-anak memertahankan kepolosannya sendiri sambil meningkatkan pengetahuannya sehigga ia kelak dapat berguna bagi sesama umat manusia tanpa perlu membeda-bedakan sistem kepercayaannya, dsb., dst.
Karena mengetahui, mengalami, menyadari, dan menghayati sepenuhnya bahaya dan kerugian yang diderita oleh manusia yang telah kehilangan kepolosannya beserta dengan sifat ikutannya seperti kesederhanaan dan kejujuran serta ketulusan hati, kaum esoteris agama dan para cendekiwan sejati lainnya segera meniggalkan penjara eksoterisisme (sebagai rujukan, silakan baca: http://filsafat.kompasiana.com/2013/03/11/sistem-kepercayaan-eksoteris-dan-esoteris-535924.html) untuk meraih kembali kepolosan mereka dulu yang telah sirna karena pengondisian batin mereka dalam perjalanannya. Mereka meraih kepolosan baru yang sangat berlainan kualitasnya dengan kepolosan anak-anak. Kepolosan dengan kemengetahuian.
Kebanyakan orang yang masih menggeluti lumpur eksoterisme sistem kepercayaannya memimpikan sesuatu yang absolut di tengah-tengah kerelatifan dan perubahan dan kemenjadian abadi. Sementara mereka bergelut di alam kesementaraan relatif yang selalu berubah setiap saat, secara kejiwaan mereka meninggalkan kenyataan ini dengan melamunkan iming-iming kekekalan di 'akhirat' yang sekarang ini dianggapnya sebagai suatu kebenaran. Penalaran jernih dan kritis yang telah mereka tinggalkan karena pengondisian berat kepercayaan membuat mereka tidak mampu melihat dan menalar bahwa di dunia fana yang dikuasai dengan hukum perubahan dan kesementaraan ini, "the so-called" keabsolutan itu hanyalah bergentayangan dalam khayalan mereka saja. Contoh kongkrit pemikiran seperti mereka ini dapat Anda temukan dalam beberapa tanggapan rekan Kompasioner tertentu, dalam artikel singkat ini.
Orang yang telah menganggap bahwa sesuatu yang dipercayainya itu sebagai kebenaran, ia cenderung tidak akan menemukan kebenaran sejati. Ia mengejar dan mencari keabsolutan dalam khayalannya sendiri tanpa menyadari bahwa ia mengejar ilusi. Alih-alih, hidup saat ini di sini dari satu kenyataan-ke-kenyataan lainnya, dan akhirnya menemukan sang maha kenyataan alias sang Absolut itu sendiri, mereka memburu-buru ilusi yang sama sekali tidak ada pada kenyataannya. Dengan sarana hidup saat ini di sini, keseluruhan mekanisme pencarian ilusif itu akan terdisfungsikan dengan sendirinya. Dan segala sesuatu menjadi sederhana lagi, kepolosan semula muncul lagi. Tidak diperlukan pencarian, tidak diperlukan penjelasan, tidak diperlukan penafsiran. Tidak terdapat kekhawatiran mengenai masa depan, dan tidak terdapat penyesalan mengenai masa lalu. Hidup sekarang ini di sini dalam kepolosan adalah begitu indah, begitu memesona, sayangnya tidak banyak orang yang tahu. J
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H