Lihat ke Halaman Asli

Menjelaskan Benang Merah Tiga Artikel—Bagian Penutup: Benang Merah Esoteris itu

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh: Andy Laksmana Sastrahadijaya

Untuk melancarkan pemahaman terhadap istilah esoteris dan kontras maknanya dengan eksoteris, khususnya yang berkenaan dengan sistem kepercayaan, silakan Anda terlebih dulu membaca artikel singkat ini. Benang merah ini, dengan sedikit penjelasan dari penulis, akan dimengerti secara relatif mudah oleh para SKT pada umumnya dan para pengikut paham ‘esoteris’ pada khususnya, tetapi akan dicerna secara relatif jauh lebih sulit oleh para SKR pada umumnya dan para pengikut paham ‘eksoteris’ pada khususnya?

Beberapa Perbedaan Pokok Kaum Eksoteris dan Kaum Esoteris:

Marilah kita mengambil contoh dari tiga sistem kepercayaan utama di Indonesia ini: Islam, Katholik/Kristen, dan Buddhisme. Penganut eksoterisisme Islam merupakan sebagian besar Muslim dan Muslimah dari kisaran yang paling ekstrim fanatisme agamanya, santri ‘moderat’ (termasuk penganut Islam Liberal), sampai Islam ‘abangan’/KTP. Kaum esoteris Islam menyelip di antara semua golongan Islam itu dan jumlahnya sangat sedikit dan tersembunyi. Ada juga beberapa muslim esoteris yang memisahkan diri dalam kelompok sufi/tasauf tertentu di bawah bimbingan seorang guru Mursyid esoteris. Begitu juga kaum esoteris Katholik membaur secara tersamar di antara kaum esoterik karena kerasnya Gereja pada Abad pertengahan (Abad Kegelapan). Mereka mengikuti tradisi esoterisisme panjang dan beberapa di antaranya menjurus ke okultisme dan mistisisme. Kaum esoteris Buddhis biasanya tidak begitu membaur dengan rekan-rekan eksoteris mereka dan biasanya membentuk aliran tersendiri agar tidak saling mengganggu dengan para pecandu eksoterisme aliran ‘main-stream’ Buddhisme.

Dalam Hal Tokoh Panutan Utama

Muslim/Muslimah eksoteris menghormati Nabi Muhammad s.a.w. sebagai tokoh panutan utamanya dengan keyakinan ‘tipikal’ dan ‘pengidolaan’ sebagai berikut, misalnya: “Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Agama yang paling mulia ini diturunkan ke muka bumi melalui seorang manusia yang paling mulia. Seorang lelaki yang diutus oleh Allah S.W.T. menjadi seorang Nabi dan Rasul, menjadi pembawa kabar gembira bagi umat manusia, mulai dari Jazirah Arab sampai akhirnya kabar gembira tersebut menyelimuti seluruh daratan di muka bumi ini,…” yang dicuplik dari artikel Kompasiana ini. Sebaliknya, Muslim/Muslimah esoteris pada umumnya telah melampaui pemikiran atau keyakinan khas seperti itu dan memusatkan perhatiannya pada aspek spiritualitas Islam yang konon diajarkan secara esoteris oleh Nabi Muhammad s.a.w. sendiri kepada sebagian kecil orang terpilih yang mengajarkannya lagi secara turun-temurun dan secara esoteris pula sampai kini. Jadi, meskipun sama-sama menokohkan Rasulullah sebagai panutan utamanya, kedua golongan ini mengkaji ajaran Rasulullah yang berbeda bagaikan langit dan bumi. Bahkan ada sebagaian Muslim/Muslimah aliran tertentu yang tidak menokohkan Nabi Muhammad sebagai tokoh panutan utamanya, tetapi meyakini Nur Muhammad atau Hakikat Muhammad sebagai penggantinya.

Tokoh panutan utama orang Katholik/Kristen eksoteris adalah Yesus yang dianggap sebagai salah satu pribadi dari Tuhan (Trinitas). Mereka menaati dan menjalankan ajarannya sesuai dengan Kitab Injil yang dirujukkan oleh Gereja dan melaksanakan berbagai ritual yang ditetapkan dan diajarkan oleh Gereja. Sebagaimana dengan rekan Muslim mereka, sebagian Katholik esoteris juga menokohkan Yesus (tetapi yang Gnostic) yang bukan dikisahkan dalam Kitab Injil yang diresepkan oleh Gereja, melainkan yang ajarannya termaktub dalam Injil Thomas, misalnya. Kaum esoteris Katholik juga mengkaji ajaran para tokoh gnostik atau mistikus garis ajaran para waskitawan/wati seperti Sanata Teresa dari Avila, Emanuel Swedenborg, Jacob Boehme, dan Meister Eckhart, beberapa di antaranya. Ada juga sebagian Katholik esoteris yang meneladani Kristus (Yang Diurapi—dari ‘Christos’ bahasa Yunani), semacam padanan ‘Nur Muhammad’ bagi Muslim esoteris. Tidak seperti saudara eksoterisnya, Katholik esoteris sudah tidak memedulikan lagi konsep penebusan dan keselamatan serta ajaran kasih teoritis Gereja, yang mereka tuju adalah menjadi Kasih tidak terkondisi itu sendiri, ajaran yang terlalu sulit untuk dijangkau oleh daya pikir dan daya rasa orang yang masih terkondisi berat dengan ajaran Gereja.

Panutan utama para Buddhis eksoteris ‘main-stream’ ialah Buddha Gautama yang merupakan sosok tercerahkan dari pangeran Siddharta Gautama, putera raja Suddhodana (pemimpin klan Sakhya) dan ratu Maha Maya/Mayadevi. Sebagaimana halnya dengan agama lainnya, terdapat tiga cabang utama Buddhisme: Theravada (“Jalan Para Tetua”--dulu disebut sebagai Hinayana), Mahayana (“Wahana Besar”) dengan banyak Bodhisatvanya, dan Vajrayana (“Wahana Intan”), yang dapat dikatakan merupakan sekte esoteris Buddhisme yang berkembang pesat terutama di wilayah Tibet dan Nepal. Para penganut Buddhisme Ch’an di Tiongkok yang dirintis oleh Bodhidharma alias Tatmo Caosu yang lalu menyebar ke Jepang dan dikenal sebagai Buddhisme Zen pada umumnya bersifat lebih esoteris daripada para penganut Buddhime lainnya yang terlalu disibukkan dengan berbagai upacara agama. Ch’an/Zen, Tanah Suci (Pure Land), dan Nichiren, sebenarnya merupakan pecahan dari Buddhisme Mahayana. Masing-masing aliran Buddhisme tersebut di atas memiliki segmen pengikut eksoteris dan esoterisnya masing-masing. Kaum esoteris Buddhis pada umumnya menempatkan Hakikat Buddha (Buddha Nature) dalam dirinya sebagai panutan utama. Kita dapat dengan seketika melihat bahwa Hakikat Buddha ini adalah padanan Hakikat Muhammad dan Kristus dalam esoterisme Islam dan Katholik/Kristen.

Dalam Hal Otoritas Sistem Kepercayaan

Kaum eksoteris ketiga agama tersebut di atas merasa takut berpikir kritis secara mandiri di luar apa yang telah diperintahkan atau dinyatakan oleh para otoritas agama mereka karena pada dasarnya terdapat rasa tidak aman yang menggerogoti kejiwaan mereka. Selama para penganut eksoterisme agama ini ingin merasa aman secara psikologis, mereka harus menjadi para pengikut dan di situlah terdapat benih kejahatan karena mau tidak mau akan terdapat eksploitasi dari manusia yang satu terhadap manusia lainnya atas nama “kebenaran” anggapan atau atas nama “Tuhan” versi kepercayaan otoritas sistem kepercayaan itu. Kaum esoteric agama yang benar-benar akan menemukan kebenaran atau Tuhan mesti terbebas dari cengkeraman otoritas Kitab maupun para petinggi agama mereka. Kaum esoteris agama yang telah benar-benar terbebas dari segala kekangan otoritas itu akan secara terus-menerus melakukan penyelidikan secara total dengan segala sumber daya alami yang tersedia baginya. Mereka dengan tidak ada henti-hentinya akan memertanyakan segala sesuatu dan menjadi cahaya bagi dirinya sendiri. Kaum esoteris yang belum benar-benar terbebas sepenuhnya dari otoritas sistem kepercayaannya tentu boleh saja memertimbangkan petunjuk dari orang yang telah menemukan kebenaran itu, namun ia sama sekali bukanlah otoritas bagi mereka. Bagaikan mengikuti arah jari yang menunjuk bulan, mereka tidak memerhatikan dan memertanyakan jarinya, tetapi berusaha menemukan bulan yang ditunjuknya itu, begitulah perumpamaan sederhananya. Tugas pemberi petunjuk ibaratnya seperti menuntun seekor kuda yang haus ke tepi danau berair jernih. Setelah sampai di tepi danau terserah si kudanya mau mereguk air bersih jernih menyegarkan itu untuk menghilangkan dahaganya atau tidak. Para pemberi petunjuk itu tidak akan memerlakukan orang yang diberi petunjuk sebagai para muridnya, paling-paling mereka akan dianggapnya sebagai ‘fellow-travellers’, teman-teman seperjalanan.

Para otoritas agama eksoteris berusaha menetapkan ajaran yang selamanya mengikat para pengikut eksoterismenya, misalnya saja dalam Islam mereka menetapkan berbagai kaidah ‘harga-mati’ dalam bentuk yang mereka sebut sebagai akidah agama, yang menurut perintah otoriter mereka tidak boleh diubah-ubah sejak dari ‘lahir’nya pada Abad ke-7 sampai kapan pun juga. Gereja Katholik menetapkan diberlakukannya berbagai upacara keagamaan yang mengikat para umat eksoterisnya secara psikologis dengan segala kemegahan dan kesyahduan yang dirancang sedemikian rupa sehingga membuat mereka ‘mencandu’ tanpa terasa. Para otoritas Buddhis eksoteris pun tidak luput dari upaya pembelengguan umat eksoteris dengan berbagai upacara puja dan aneka upacara pemberkatan dan penyucian lainnya yang selalu memerlukan para pemimpin upacara, yakni para otoritas agama itu sendiri.

Otoritas eksoteris sistem kepercayaan atau agama merupakan tiran psikologis yang memerbudak umat eksoterisnya baik secara psikologis maupun secara fisik dengan mengajarkan dan mencuciotakkan tradisi masa lalu secara berulang-ulang dengan tiada henti-hentinya (kata orang, pemikiran orang, tingkah laku, dan perbuatan orang zaman dulu secara turun-temurun) dengan berbagai ritual usang yang ditaati oleh kaum eksoterisnya bagaikan para budak zaman dulu yang selalu menaati para juragan/pemiliknya tanpa memertanyakan segala sesuatunya, terutama kebenaran ajaran tradisional mereka itu. Modal utama para otoritas eksoteris ialah ‘menakut-nakuti’ dan ‘mengiming-imingi’, yang dipercayai sepenuhnya secara suka-rela oleh para pengikutnya. Anehnya, para budak suka-rela ini pada saat yang sama sangat kritis terhadap para tiran politik yang ada. Sebut saja Hitler, Stalin, Mao, Kim (Korut), dan Soeharto, yang bahkan mereka gulingkan dengan penuh semangat dengan gerakan mahasiswa secara serempak di seluruh tanah air. Sekalipun demikian para mahasiswa yang persis sama, secara tiba-tiba kehilangan kesadaran, kecerdasan, dan semangat berapi-apinya untuk dalam hal melawan maha-tiran sistem kepercayaannya sendiri yang jelas-jelas memerbudak mereka seumur hidup sampai kelak menjelang ajal.

Dalam Hal Hakikat Ajaran

Sub-judul ‘hakikat ajaran’ ini merupakan semacam perluasan dari alinea di atas yang menguraikan secara singkat mengenai otoritas agama. Hakikat ajaran eksoteris ialah ajaran untuk menggelembungkan ego (baca lagi Bagian Pertama dari artikel serial ini). “Berbuatlah begini dan begitu dan janganlah berbuat begini dan begitu agar Anda menjadi begono dan begunu, tetapi janganlah bertanya mengapa mesti begini dan mesti begitu dan bagaimana dapat begini dan dapat begitu karena saya pun tidak tahu. “Maklum saja ya karena saya juga menerima ajaran itu dari otoritas sebelum saya tanpa saya pertanyakan sama sekali,” begitulah kira-kira kilah otoritas atau petinggi eksoteris sistem kepercayaan. Atau ia paling-paling hanya akan mengutip ayat ini dan ayat itu, hadis ini dan hadis itu sebagai rujukan datanya. Sebaliknya, kaum esoteris diberi petunjuk agar mengempiskan si egonya sampai setipis-tipisnya atau setransparan-transparannya agar cahaya sang Diri Sejati dapat menerangi jiwa-raga dalam perjalanan hidupnya atau membuatnya disfungsional sama sekali jika tidak sedang diperlukan. Jika ia ditanya oleh orang yang diberinya petunjuk, ia tahu jalan persisnya karena ia pernah menempuhnya sendiri, bukan ‘jare-jarene’ (katanya orang yang juga mendasarkan pengetahuannya dari katanya orang lagi). Ia dapat memberi penjelasan bahwa pada tikungan ini dan tikungan itu atau tanjakan yang demikian ini atau demikian itu orang akan menemukan ini dan itu dan merasakan begini dan begitu.

Siapakah yang diperintah oleh para otoritas agama eksoteris itu? Mereka tidak lain tidak bukan adalah para ego pengikut eksoteris sistem kepercayaan tempat para otoritas itu berkuasa. Para ego ini dirangsang keinginannya untuk lebih menggelembungkan dirinya sampai semaksimum-maksimumnya, yang sering digambarkan dengan pencapaian baik secara duniawi maupun ‘surgawi’ (dunia-akhirat). Para ego ini sama sekali tidak menyadari bahwa dirinya dirangsang penggelembungannya dengan dengan secara terus-menerus dikobarkan keinginannya untuk mencapai ini dan mencapai itu dengan metode kuno namun sangat efektif, yakni dengan memakai dualitas pedang bermata dua: iming-iming (surga) dan ancaman (neraka).

Sebaliknya, kaum esoteris belajar menguruskan egonya dengan menipiskan keinginannya sehingga pada suatu titik tertentu terbebaslah mereka dari ego beserta dengan segala tetek bengeknya: rasa takut, keinginan, ambisi, ketamakan, kebodohan, dsb., dst., sehingga satuan jiwa-raga yang bersangkutan dapat hidup di sini saat ini dengan penuh kepolosan alami, ia boleh dikatakan telah menjadi manusia arif sempurna.

Bagian Pertama, Bagian Kedua, Bagian Ketiga




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline