Lihat ke Halaman Asli

Alrdi Samsa

Mahasiswa Pascasarjana Politik Pemerintahan UGM

Berkenalan dengan Diri Sendiri

Diperbarui: 31 Desember 2018   03:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi pribadi

-perihal sebab-akibat, pasti ada realitas tunggal yang harus kita yakini.

Alam berkata dengan sendirinya, berbicara dengan segala kejernihan realita yang tersaji, terlihat oleh mata kepala kita. Tersandungnya, terjatuhnya, tenggelamnya segala hal tentang lingkup kehidupan kita, pasti ada sebab yang tidak berakhir, sebab yang tidak tampak dan sangat tidak kentara. 

Manusia membangun dialektika terkait hal ini sejak peradaban awal, kita terlahir karena ada awal. Awal yang terjalin dalam komunikasi dari perdebatan diri sendiri yang tak pernah akhir. Seakan-akan logika hukum "sebab-akibat" adalah hal yang lazim bagi kita, namun hal tersebut, sangat jauh kita mengerti dan fahami.

Ada proses pemaknaan panjang yang harus dilalui, tentang segala hal yang terlibat dalam proses ini, itu semua adalah sebuah instrument kecil untuk mendayagunakan semuanya untuk masuk dalam kerangka berpikir jernih yang akan dimaksudkan. Premis awal adalah tentang kita yang telah menyepakati bahwa ada sesuatu yang akan menjadi "penyebab" dan akan menghasilkan "sebab" hingga kelak kita, menemukan atau tidak pasti ada realitas tunggal yakni "penyebab utama" dari segala hal yang telah tergambarkan dalam realitas kehidupan.

Esensi dari alam terlihat jelas dengan penggambaran manusia, hewan, tumbuhan dan segala kehidupan yang ada dalam lingkaran semesta. Beberapa orang menyebut manusia sebagai muatan materi, bergerak dan menggerakan serta hidup dan menghidupi. Pada tataran konsep inilah manusia tidak pernah puas dengan segala pengetahuan dan rakus akan makna, hingga akhirnya konsep sebab-akibat terus digalih, untuk mencari nilai tunggal dari penyebab.

Pada pergolakan pemikiran, tata bahasa dan pemikiran semua manusia akhirnya akan ada yang menyepakati bahwa yang dinamakan Tuhan adalah realitas tunggal, bersifat metafisik, terlampau jauh dicapai, terlalu sulit difahami dan terlalu sederhana jika mendeskripsikannya. Pada akhirnya atribut "sebab-akibat" adalah penghias utama dalam konsep peng-elak-kan manusia yang gagal dan buntu untuk mencari penyebab utama. 

Kontekstualisasi kehidupan hari ini digambarkan dengan segala bentuk penggambaran Tuhan yang maha menyebabkan, dan mengakhiri. Atas dasar hal ini pula, manusia bertindak, dan selalu terkadang menyalahkan Tuhan dalam segala ranah kehidupan. Rotasi kehidupan terus terjadi, hingga akhirnya manusia gagal untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri.

Pengenalan pada diri sendiri dikesampingkan, digantikan dengan segala bentuk fisik yang terlihat oleh mata kepala, dari pada mata batin. Kesucian, Kerohanian dan segala bentuk Kebaikan terlihat semu, karena manusia menanggapnya sebagai sesuatu yang sangat tidak bisa dijangkau oleh logika. Maka pada akhirnya hasrat manusia menjadi entitas tunggal, dan tidak terjamah oleh siapapun. Kebenaran mutlak berdasarkan diri sendiri, bukan terletak pada pertengkaran, perdebatan dan pergulatan pemikiran.

Konsep manusia dalam mengenal segala lingkup diluar jati diri mereka dengan kesombongan, telah menutup kemungkinan tentang kebersamaan. Candunya manusia pada sifat dan sikap angkuh adalah gambaran bahwa manusia tidak pernah benar-benar mengenal diri sendiri. Terlepas dari sulitnya untuk mengetahui, faham, dan mengerti tentang diri sendiri. Seyogyanya, hal tersebut dapat dimaklumi dan terus berupaya dan belajar mengenal dan memahami diri.

Sampai pada tahap ini. Semuanya berharap untuk bisa konsisten memperjuangkan pergumulannya dengan diri sendiri. Kesepian dan kesunyian mungkin menjadi jawaban atas resahnya, kesepian dan kesendirian mungkin menjadi salah satu pembelajaran penting untuk mengetahui identitas diri sendiri

Walaupun kita sedang mengalami krisis identitas, krisis kepercayaan dan krisis kesepakatan pemahaman pemaknaan bersama. Kita harus sadar dan penuh pengertian akan makna identitas diri kita sendiri. Terlebih pada proses pemaknaan jati diri, sisi emosional dan rasionalitas kita. Kita harus memiliki pemaknaan dalam setiap kehidupan. Langkah kaki kita harus memiliki pengertian, gerakan tangan kita harus memiliki ayunan sempurna tentang makna. Agar kisah hidup terjalin dengan kesadaran penuh tentang diri sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline