Beberapa minggu yang lalu, kita dihebohkan dengan pemberitaan kasus di tanah Rempang. Ada satu hal yang akan saya jelaskan lebih dulu tentang kasus ini. Banyak sekali masyarakat yang tidak mengetahui tentang apa yang sedang terjadi di Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau. Bahkan hanya sedikit dari mereka yang mengetahui kronologi sebenarnya. Lalu apa yang sebenarnya terjadi di Pulau Rempang?
Perebutan tanah warga Pulau Rempang yang tiba-tiba diambil oleh pemerintah. Rasanya kita sudah banyak mendengar kasus-kasus semacam ini, tentang relokasi pembangunan dan lain-lain. Namun, yang sangat memprihatikan dan membuat saya sangat tertarik untuk membahas kasus ini adalah pelanggaran HAM dan hak anak yang dilakukan oleh pihak terkait dalam usaha untuk memindahkan warga setempat.
Pada awalnya, pemerintah beserta para aparat negara berusaha untuk bernegosiasi dengan masyarakat Pulau Rempang, dengan menjanjikan Rumah Susun sebagai ganti rugi dari pembangunan Rempang Eco City bagi mereka. Namun, mereka menolak dan berpendirian teguh untuk tetap mempertahankan tanah yang sudah mereka diami selama berpuluh-puluh tahun. Akhirnya setelah melakukan negosiasi selama beberapa waktu dan tidak menemukan titik terang, pemerintah beserta aparat gabungan melakukan pengukuran dan pemasangan patok tata batas dan cipta kondisi di wilayah Rempang secara paksa.
Tentu hal tersebut mengundang amarah dari warga setempat, dan mereka menutup akses jalan di area tersebut sebagai tanda penolakan. Faktanya, sepanjang perjalanan menuju tempat pemasangan patok terdapat beberapa sekolah, diantaranya SDN 24 Galang dan SMPN 22 Galang. Pihak sekolah telah menghimbau untuk tidak membahayakan murid yang ada di lingkungan sekolah kepada para aparatur gabungan, namun himbauan tersebut dihiraukan. Bahkan warga dan pihak sekolah meminta untuk tidak menembakkan gas air mata ke arah sekolah.
Entah tak punya hati atau tak bisa berpikir secara rasional karena terbawa emosi, menurut beberapa keterangan warga yang ada di tempat kejadian, asap gas air mata tiba-tiba sudah memasuki area sekolah. Para guru dan siswa yang panik segera berhamburan keluar sekolah dan menjauhi area sekolah karena merasa takut dan merasakan perih di area mati. Hal tersebut tentunya menimbulkan ketakutan, khususnya para siswa yang sedang menimba ilmu di sekolah.
Terdapat 11 korban yang diantaranya adalah 10 murid SMPN 22 Galang dan seorang guru. Di lansir dari TribunBatam.id, seorang bayi bernama Algifari menghirup gas air mata saat sedang tidur. Asap gas air mata itu mengarah ke rumah Herman karena terbawa angin yang cukup kuat pada saat kejadian. Rumah Herman (Orang Tua dari Algifari) tak jauh dari Jembatan 4 Barelang, tempat polisi menembakkan gas air mata. Herman pun panik dan segera meminta pertolongan untuk sang buah hati.
Menurut Peraturan Presiden Repblik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial, dijelaskan secara tegas bahwaperlindungan perempuan dan anak adalah upaya pencegahan dan penanganan dari segala bentuk tindak kekerasan dan pelanggaran hak asasi perempuan dan anak serta memberikan layanan kebutuhan dasar dan spesifik perempuan dan anak dalam penanganan konflik, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan penanganan konflik.
Anak-anak yang seharusnya mendapat perlindungan dari pemerintah dan aparatur, justru mendapat perlakuan yang bisa membuat mereka mengalami trauma hebat. Rasa sakit dan takut yang mereka alami sejak kejadian tersebut, bisa menimbulkan trauma berkepanjangan. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat mereka menimba ilmu, kini menjadi tempat yang menyeramkan dan perasaan mereka akan diliputi dengan kekhawatiran. Tempat ternyaman mereka kini berubah menjadi tempat paling menakutkan dan beralih menjad biang traumatis. Kejadian Rempang ini, akan selalu diingat oleh para murid-muris di sana sepanjang hidupnya.
Akan ada pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam benak mereka bahwa "Apakah kejadian itu akan terulang kembali dan membahayakan dirinya?" "Apakah ia harus bersiap-siap dan berlari sewaktu-waktu, jika asap gas air mata itu kembali memenuhi sekolah?"
Relokasi seharusnya tidak boleh menjadi ajang untuk membahayakan anak-anak dan perempuan. Mereka juga memiliki hak untuk dilindungi dan merasa aman oleh seluruh masyarakat bahkan pemerintah. Mereka seharusnya tidak perlu merasakan ketakutan akan terjajah di tanahnya sendiri. Dengan cara-cara tak pantas yang dilakukan oleh aparatur pemerintah, hal tersebut membuat anak-anak ini seolah dipaksa pergi dengan cara tak pantas bahkan ketika mereka sedang menimba ilmu.
Proses belajar mengajar seharusnya menjadi aktivitas yang menyenangkan dan menenangkan untuk para siswa dan guru. Kejadian ini bukan hanya menimbulkan rasa takut bagi anak-anak tetapi juga para warga di Pulau ini. Hak mereka untuk merasa tenang di tempat tinggal sendiri seolah lenyap. Rutinitas yang mereka lakukan seperti biasanya harus terganggu karena adanya relokasi. Bahkan hingga saat ini, murid-murid yang terkena dampak dari gas air mata belum juga mendapatkan akses pemulihan yang memadai.