Peristiwa bencana yang melanda tanah air tercinta Indonesia belum berhenti, setelah gempa bumi, tsunami, likuifaksi, banjir dan longsor terjadi di beberapa daerah di Indonesia, kini giliran si jago mereh melahap dan menghancurkan ratusan rumah di Tomang, Jakarta Barat. Ada apa sebenarnya?
Sesungguhnya setiap peristiwa alam merupakan kalimat yang harus dibaca dan dimaknai. Berbagai nikmat Allah Subhanahu Wa Ta'ala di alam ini akan tetap menjadi sarana pendukung peradaban selama manusia tunduk kepada syariat Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Air misalnya memiliki banyak manfaat baik yang sudah diketahui maupun yang belum diketahui manusia.
Namun saat manusia melupakan hukum Allah Subhanahu Wa Ta'ala, baik hukum yang termaktub dalam Al-Qur'an maupun yang terpampang di alam ini, maka nikmat tersebut akan berubah menjadi laknat, anugerah menjadi musibah dan karunia menjadi bencana. Air yang tadinya membawa banyak manfaat menjadi banjir atau tsunami yang menghancurkan juga membawa kerugian. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman,
"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia." (QS. Ar-Ra'du 13 : 11).
Dalam ayat lain Allah Subhanahu Wa Ta'ala menegaskan,
"Yang demikian (siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu ni`mat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Anfal 8 : 53).
Tafsir Jalalain mengatakan: "(sesungguhnya Allah tidak merubah sesuatu dari suatu kaum) Allah tidak mengambil kembali nikmat-Nya dari mereka (sehingga mereka merubah apa yang ada pada mereka sendiri) yakni dari kelakuan-kelakuan yang baik dirubah menjadi kelakuan-kelakuan maksiat".
Namun musibah memiliki filosofi dan tujuan beragam. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Atsqolani berkata, "Kata musibah berasal dari kata yang bermakna lemparan anak panah. Kemudian kata itu digunakan untuk setiap bencana, musibah, dan malapetaka". Sementara Ar-Raghib berkata, "Kata Ashaaba -yang merupakan kata kerja lampau dari mushibah-- digunakan pada kebaikan dan keburukan yang menimpa."
Sehingga pertama, musibah dapat dipahami sebagai cobaan untuk meninggikan derajat dan memperbesar pahala. Hal ini sebagaimana telah menimpa para nabi dan orang pilihan.
Kedua, musibah sebagai kaffarat adalah untuk menghapuskan dosa-dosa. Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala,
"Siapa yang mengerjakan keburukan niscaya akan diberi balasan akibat keburukan itu." (QS. An-Nisa' 4 : 124).