Lihat ke Halaman Asli

Golput Kini: Kerumunan Tanpa Cita-Cita

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13969504241931499702

[caption id="attachment_330804" align="aligncenter" width="300" caption="golput"][/caption]

Pada mulanya, aksi “tidak mencoblos” adalah bentuk perlawanan masyarakat Indonesia terhadap penguasa rezim Orde Baru. Kala itu, kendati Indonesia mengklaim diri sebagai negara demokrasi, nyatanya roda pemerintahan dijalankan di bawah logika militer yang demikian anti terhadap musyawarah. Itulah saat-saat di mana kebebasan berpolitik warga amat ditekan, dan kursi kekuasaan dibagi-bagi berdasarkan garis komando Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang tersembunyi di balik proses pemilu.

Situasi tak nyaman itu yang kemudian mendorong sekelompok intelektual muda bangsa untuk mencetuskan gerakan “golongan putih” (golput). Menjelang pemilu tahun 1971, gerakan yang dipelopori Imam Waluyo dan Arief Budiman ini mengkampanyekan agar warga mencoblos bagian kosong surat suara yang berwarna putih. Golput sekaligus menghimbau masyarakat agar tidak mencoblos parpol-parpol yang ikut dalam pemilihan, dan sebisa mungkin menolak partisipasi dalam pemilu.

Namun bukan tanpa alasan, lewat aksi tersebut golput ingin menyebarluaskan kesadaran bahwa ada kepentingan-kepentingan warga yang tak tertampung oleh parpol, tak diakui dalam pemilu, dan idealnya setiap warga punya hak untuk menggugat masalah tersebut. Dengan demikian, golput muncul sebagai aksi simbolis dalam membela kebebasan politik warga dan sebuah upaya mengaktifkan demokrasi di Indonesia. Meski penuh keterbatasan, setidaknya golput telah menjadi siasat dalam mengkritisi rezim otoriter, dengan cara yang relatif “aman” dan mudah dilakukan ketimbang berdemonstrasi langsung di jalanan.

Mengingat sejarahnya dulu, menjadi jelas bahwa aksi golput amat jauh dari kesan main-main. Tapi jika melihat situasi sekarang, jejak golput sudah sampai mana?

*

Sekarang, Orde Baru telah terkubur jauh dalam ingatan kita. Militer tak lagi memegang kendali utama dalam urusan politik negara. Indonesia juga telah menerapkan demokrasi dengan sebagaimana mestinya, minimal dalam hal prosedur. Meski belum bersih total dari tindak kecurangan, nyatanya beberapa pemilu terakhir telah sukses mengganti wajah segenap anggota legislatif dan presiden Indonesia. Soal yang terpilih bisa bekerja sesuai harapan atau tidak, itu perkara berbeda. Yang pasti, tak seperti di masa Orde Baru, saat ini suara warga punya pengaruh besar terhadap proses pergantian pejabat-pejabat negara.

Namun, di tengah iklim kebebasan politik yang semakin membaik itu ternyata jumlah golput malah mengalami pembengkakan. Golput yang pada tahun 1971 lalu hanya berada di kisaran 6%, pada tahun 2009 telah melonjak hingga mencapai sekitar 30% dari total penduduk Indonesia. Keterangan ini tentu membuat kita bertanya-tanya. Jika empat dasawarsa lalu golput lahir demi membela kebebasan politik warga, belakangan ini golput membengkak demi membela apa?

Sangat disayangkan, pertanyaan itu kini sulit untuk dicarikan jawabannya. Sebagaimana terbaca dalam opini-opini yang beredar di media massa, kebanyakan orang yang menyatakan diri sebagai golput cenderung tak mau percaya bahwa pemerintahan Indonesia masih mungkin diperbaiki. Tak lagi sarat kritik, kini golput seringkali menyuarakan kekecewaan terhadap moral politisi negeri, namun tak pernah lagi mengkampanyekan aspirasi kolektif tentang ideal-ideal apa yang harus dituju Indonesia. Alih-alih berwujud gerakan kelompok seperti di era Orde Baru, hari ini penampakan golput lebih mirip sekerumunan orang yang kepentingannya tak saling terikat satu sama lain. Memangnya, cita-cita macam apa yang mungkin dibela oleh kerumunan cerai-berai itu? Saya kira tak ada.

*

Lantas, mengingat pileg 9 April 2014 yang sudah kian dekat, saya rasa sekarang inilah waktu yang tepat untuk menentukan posisi kita sebagai warga negara. Berdiam di jalur golput dan memperbesar kerumunan cerai-berai tadi, atau maju sebagai konstituen dan ikut bergotong-royong menanam harapan akan kondisi Indonesia yang membaik. Bagi saya sendiri, pilihan gotong royong itu rasanya lebih mencerahkan. Lebih mungkin membuahkan hasil ketimbang sekedar berkecewa diri. Apalagi, asumsi bahwa pemilu akan selalu diikuti oleh orang-orang penggila korup juga tidak pasti kebenarannya. Seperti di pileg besok ini, caleg-caleg yang baik, antikorupsi dan bereputasi bersih itu juga pastilah ada. Tapi keberadaanya memang bergantung pada kita. Jika kita tak merasa perlu mencari tahu dan tak mau mengusahakan keterpilihan mereka, maka selama lima tahun ke depan orang baik itu bisa jadi memang tak ada.

[sumber gambar: www.google.com]

Rujukan:

“Golongan Putih” http://id.wikipedia.org/wiki/Golongan_putih

“9 Alasan Jadi Golput di Pemilu Legislatif 9 April 2014” http://politik.kompasiana.com/2014/04/07/9-alasan-jadi-golput-di-pemilu-legislatif-9-april-2014-647187.html

“Apakah Golput Jadi Solusi?” http://politik.kompasiana.com/2014/04/08/apakah-golput-jadi-solusi-645808.html

“Mari Beri Caleg Bersih Kesempatan Untuk Tampil” http://politik.kompasiana.com/2014/04/04/mari-beri-caleg-bersih-kesempatan-untuk-tampil-644686.html




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline