Lihat ke Halaman Asli

Wiji Thukul: Puisi yang Tak Indah

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1399900033157457217

Aku hampir tak paham puisi2 Wiji. Itu tidak terdengar seperti puisi. Itu hanya protes dengan kata-kata penuh amarah, tidak ada yang indah. Kupikir puisi itu indah, puisi indah tentang cinta yang wangi dan kepahlawanan yang gemerlap.

Aku hampir salah melihat Wiji, yang berdiri memegang kertas sambil berteriak-teriak. Tidak bisa jelas mendengar apa yang Wiji teriakkan. Juga tidak jelas balasan apa yang orang lain itu lantangkan, hanya terdengar sederet kata: “…satu..“. Dan mereka balas dengan: “lawan” (belakangan baru kutahu mereka mengucapkan kata itu). Tapi setelah mereka meneriakkan kata itu, dengan tangan diacungkan ke atas, suasana berubah jadi hingar-bingar, mereka terlihat tak sabar, ada semangat yg berkobar. .. lalu semua bergerak.

1995, Wiji Thukul, aku dengar menjadi korban kekerasan aparat saat demonstrasi di PT. Sritex, Solo. Dia ketua divisi budaya organisasi Persatuan Rakyat Demokratik, yang di-cap oleh BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara) sebagai orang yang ingin mendongkel negara. Sajak-sajak Wiji berisi protes sosial, cerita tentang buruh, anak-anak miskin perkotaan, dan perlawanan. Sajak-sajak yang diteriakkan itulah yang membuat Wiji menerima Wertheim Encourage Award -1991 dan ASEAN Literary Festival - 2014, meskipun dia tidak mengharapkan penghargaan, karna dia tidak ingin menjadi pahlawan. Wiji justru menjadi penjahat bagi penguasa orde baru yang sewenang-wenang.

**Kalau mereka bertanya “Apa yang dicari?” / jawab dan katakan dia pergi untuk merampok haknya yang dirampas dan dicuri. (puisi pelarian dan pesan bagi Nganti Wani dan Fajar Merah, anak-anaknya).

Pojok Pasar Mrican, Yogya, sambil menyantap nasi sayur campur-campur, seorang teman dari Semarang seperti janjinya dulu membawakanku beberapa stensilan buku karangan Pramoedya dan Nietzsche. Di antara lembar stensil itu ada beberapa cukilan sajak yang sangat kukenal semangatnya:

**Apabila usul ditolak tanpa ditimbang / Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan / Dituduh subversif dan mengganggu keamanan / Maka hanya ada satu kata: lawan!

Ini dia kata-kata kurang jelas yang dulu pernah kudengar. Ini sajak yang dulu pernah kurasakan semangatnya, yang dilantangkan dengan energi yang keluar entah dari badan kerempengnya yang sebelah mana. Setelah itu, ‘Peringatan‘ Wiji Thukul hampir selalu kudengar di setiap aksi-aksi pergerakan. Disusul dengan mars Darah Juang sambil mengangkat tangan kiri. Puisi-puisinya tersebar, membangun perjuangan dan menghidupi setiap gerakan aksi. Kata-katanya lugas tanpa pakem estetika. Ada gelora yang tak terlihat, hanya bisa dirasakan. Setiap membacanya, hati ini bergetar sedih, miris, emosi, marah, dan hanya ingin bertindak.

Hingga pertengahan Juli 1996, puisi-puisinya yang tertulis di kertas-kertas bekas terus kusimpan bersama stensilan karya para penulis yang saat itu dilarang beredar -subversif atau kekiri-kirian, katanya. Setelah peristiwa penyerbuan kantor PDI di Jalan Diponegoro Jakarta, semua itu kami musnahkan. Kondisi tidak lagi aman untuk berkumpul, pun untuk sekedar berbagi cerita, apalagi membangun gerakan aksi. Akhirnya semua berpencar, beberapa teman tertangkap. Kami tidak pernah tahu siapa saja yang diincar, saat itu yang terpikirkan hanyalah mencari aman. Saya kembali ke Yogya, sempat pula ke Medan dan beberapa kali melompat ke Semarang atau Purwokerto.

**aku diburu pemerintahku sendiri / layaknya aku ini penderita penyakit berbahaya / aku sekarang buron / tapi jadi buron pemerintah yang lalim bukanlah cacat / pun seandainya aku dijebloskan ke dalam penjaranya.

Dalam pelarian ini, kami tidak tahu siapa saja yang tertangkap, kami bahkan tidak tahu beberapa sudah dihilangkan. Komunikasi terputus dan informasi seperti internet kala itu masih sulit dan terasa mahal. Hanya tahu dari kabar di media atau jika kami sempat bertemu di dekat Ngasem, Yogya, barulah kami sadar sudah banyak teman yang tertangkap (dan juga hilang -hingga kini).

Penangkapan dan penculikan - Penghilangan orang - Siapa yang bertanggung jawab?

Tim Mawar Kopassus memang telah diadili di Mahmilti, tapi mereka hanya kroco yang menjalankan perintah atasan. Bagaimana nasib (baca: karir) ‘boss-boss‘ mereka saat ini? (Lihat:Penculikan Aktivis )

** jika tak ada mesin ketik / aku akan menulis dengan tangan / jika tak ada tinta hitam / aku akan menulis dengan arang / jika tak ada kertas / aku akan menulis di dinding / jika menulis dilarang / aku akan menulis dengan pemberontakan dan tetes darah.

..mungkin karna itulah aku ingin menulis.

Wiji Thukul, dirimu dimana..?

Aku rindu puisi-puisimu yang tak indah.

Aku rindu semangatmu yang gelisah,

saat dirimu melihat penindasan kaum marjinal oleh bangsanya sendiri.

**) adalah beberapa carik puisi Wiji Thukul yang kuingat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline