Maret 1998, dua bulan sebelum kejatuhan Soeharto.
Hembusan angin malam disertai hujan yang turun sepanjang sore menemani kepergianku malam ini. Jalanan tanah sekarang sudah becek dan penuh genangan air di mana-mana. Aku terus berjalan menyusuri jalan, sebisa mungkin aku menjauhi rumah penduduk. Bisa saja tentara sedang melakukan razia dan aku akan ditangkap dengan tuduhan mata-mata GAM lalu berakhir seperti kebanyakan warga yang dibawa pergi.
Sebelum Subuh aku harus tiba di Pasilhok dan menemui seseorang bernama Darwis Djeunib.
Sebenarnya terasa berat bagiku untuk meninggalkan ayah dan ibu di kampung. Akan tetapi, tidak ada pilihan lain semasa perang ini. Membantu GAM bisa ditangkap militer Indonesia, membantu tentara dibilang mata-mata dan pengkhianat. Memang menyedihkan, berdiri di antara dua kubu yang sedang berseteru tanpa bisa memihak salah-satunya. Dan bila kuingat lagi bagaimana tentara memperlakukan Aisyah, hatiku semakin sedih saja.
Sejauh yang kutahu, mereka hanya melawan sesama yang bersenjata tetapi seringkali kamilah yang jadi korbannya. Aku dengan sadar tentu mendukung dan mencintai perdamaian. Bagiku, perang hanya menawarkan banyak masalah, merenggut banyak nyawa, mengorbankan banyak waktu dan materi. Perang tidak menghasilkan apapun, yang kalah hanya jadi abu sementara yang menang hanya jadi arang.
Malam ini, tekadku pun sudah bulat untuk meninggalkan Aceh, tanah kelahiranku; negeri hijau yang subur dengan segala tumpahan darah di atasnya.
Malam sebelum aku pergi, beberapa kombatan GAM yang masih memiliki hubungan keluarga dengan ayahku singgah di rumah. Mereka meminta makanan dan minuman beserta uang seadanya. Aku sudah memperingatkan ayah agar jangan menjamu mereka tetapi ayah memang keras kepala. Sesama manusia itu mesti tolong-menolong, apalagi keluarga sendiri, katanya. Setelah mereka pergi, ayah langsung menyuruhku agar lari ke Malaysia karena esok hari pasti ada warga yang melapor kalau rumahku didatangi kombatan GAM kepada tentara. Mereka akan menggeledah rumahku dengan seenaknya. Lalu ada saja yang mereka bawa pergi; perabotan, beras, hewan ternak bahkan nyawa juga, kakakku salah satunya.
Setelah dua jam berjalan kaki aku memutuskan berhenti sejenak, bukan karena lelah tetapi yang kulihat di depan sungguh sangat mengancam. Aku melihat sebuah perkampungan, begitu hening, tak ada warga yang berani keluar. Tiga puluh meter di depanku ada sebuah pos penjagaan tentara. Aku memilih duduk di bawah pohon besar yang mulai meranggas, tidak jauh dari tempatku berdiri, sekadar memikirkan bagaimana caranya aku bisa lolos.
Hujan yang yang turun sepanjang sore sudah berubah menjadi gerimis ketika aku bersandar di pohon. Aku memejamkan mata, mencoba melupakan semua kenangan dan luka sesaat. Aku mengamati sekeliling, kiri kanan jalan terdapat parit kecil penuh ilalang setinggi kepala orang dewasa. Sudah tentu aku tidak akan merayap di parit, bisa saja tentara memasang ranjau di sana. Sempat juga terpikir di kepalaku untuk melawan mereka jika tertangkap nanti tetapi ketika kutahu jumlah mereka, dengan cepat kubuang jauh-jauh keinginan itu. Aku lalu membuka ransel yang kubawa dan mengambil beberapa pakaian sebagai pelapis. Setelah kupikir-pikir, lebih baik ransel ini kubuang saja agar tubuhku lebih lincah bergerak. Aku pun mencoba membelah ilalang dengan kedua tangan. Kurasakan kulitku mulai menempel banyak duri, perih dan berdarah. Kedua tanganku sudah terlalu sakit untuk membelah ilalang, aku pun menyodok menggunakan kepala. Sesekali aku melihat cahaya senter tentara diarahkan ke ilalang tetapi karena ilalangnya cukup lebat dan tinggi membuatku yang bersembunyi di dalamnya tidak terlihat. Aku hanya perlu berhati-hati menyentuh ilalang agar gerakannya tidak mencurigakan. Setelah merasa sudah cukup jauh melewati mereka, aku kembali ke jalanan. Kucabut duri yang masih menempel di sekujur tubuh. Baju sudah koyak, basah, dan kotor penuh darah. Sandal juga sudah putus. Aku menginjak ranting pohon dan semak berduri. Kakiku mulai terasa sakit. Suara katak dan jangkrik mulai terdengar. Bulan mencoba menyingkirkan awan yang menutupinya. Hujan benar-benar sudah berhenti. Seolah itu semua sebagai perayaan atas keberhasilanku melewati pos penjagaan tentara. Aku pun terus melanjutkan perjalanan, dengan perasaan yang begitu waswas.
Setelah tiga jam berjalan kaki dari pos penjagaan tentara, akhirnya aku sampai di Pasilhok. Aku ingat, kalau rumah Darwis Djeunib adalah satu-satunya rumah yang berada di pantai ini. Rumah kecil berdinding bambu dan beratap ijuk. Rumah yang begitu kecil hingga sebenarnya lebih pantas disebut gubuk. Terlebih penghuninya hanya Darwis Djeunib seorang. Aku menyusuri garis pantai mencari rumah yang dekat dengan hutan pantai. Ketika rumah itu kutemukan sudah banyak orang berkumpul di sana. Tidak hanya laki-laki, ada banyak perempuan dan anak-anak. Beberapa dari mereka ada yang menangis sambil bersujud di hadapan salah seorang yang dapat kupastikan itu adalah pemilik kapal, Darwis Djeunib. "Bawalah anak dan istriku ke Malaysia, aku akan di sini mencari uang dan membayarnya ketika kamu sudah kembali lagi ke Aceh," ucap seorang lelaki paruh baya.
Aku langsung berjalan menemui Darwis.