Lihat ke Halaman Asli

Kopi dan Ekonomi Pinggiran

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

 

Malam itu, di Denpasar. Aku dan seorang teman berkunjung ke sebuah angkringan di ujung Jalan Pulau Saelus. Belum genap jam 21.00 WITA ketika kami sampai di sana. Warung dadakan yang mengambil alih parkir sebuah pertokoan. Kami duduk dan seketika itu, datang seorang Mbak cantik membawakan selembar kertas terlaminating; Menu. Aku meraih selembar ukuran A4 itu, dan seketika dahiku berkerut.

“Di sini meskipun harganya mahal tapi rame kan?”

Aku mengangguk saja. Kopi Hitam paling murah dipatok 8 ribu, dan beberapa jenis mochaccino dan cappuccino berkisar 15 ribuan.

“Coba aja ada yang jualan kayak gini di Ponorogo, nggak mungkin laku!”

“Lah iya, harganya kayak gini.” Aku menggoyangkan kepala. Akhirnya kami pesan satu Tiramisu Cappuccino, satu Caramel Latte dan Kentang Goreng. Kami kemudian berbincang, membicarakan banyak hal. Tentang masa depan, tentang hobi naik gunung, tentang adiknya yang boros, dan pastinya, perempuan menjadi topik indah malam itu. Pesanan datang, dan aku cicipi. Bagus, di menu tertulis bahwa menu ini adalah menu “Hot” alias panas, namun ternyata tak terasa suhu apapun di tegukan pertama itu. Sedikit tertipu, tapi kopi tetaplah kopi. Mau dia dingin, panas, bahkan “di antara keduanya” tidak akan mengubah identitasnya sebagai teman begadang.

Iya, betul. Di mana-mana kita bisa melihat orang minum kopi. DI rumah, di kantor, di cafe, bahkan di pinggiran jalan seperti ini. Angkringan mulai ramai di Bali –tepatnya di Denpasar- baru mulai tahun2 ini saja. Sebelumnya tidak juga. Kalau di Ponorogo, angkringan kopi semacam ini sudah dari zaman jebot dulu sudah banyak berkeliaran. Namun harga? Kelas? Aku tak perlu berpikir dalam-dalam untuk dapat menerka itu. Siapa pun akan bilang kalau ngopi di Bali lebih tinggi derajatnya dari kota manapun di Indonesia. Beberapa kota besar lain mungkin menyaingi, tapi soal passion? Bali still the Winner.

Hanya memang yang menjadi patokan di ingatanku adalah bahwa banyak orang datang ke kota besar seperti Denpasar ini guna mengadu nasib, bertaruh segala macam untuk sekedar nafkah. Banyak yang beruntung, namun tidak sedikit yang kalah. Pendapatan sudah pasti lebih besar dari desa, namun ketika kebutuhan sehari2 juga menuntut harga di atas rata-rata, skornya jadi  1:1. Itu belum kalau kita memang mencari Gengsi untuk ke Starbucks atau jajan martabak di Holland. Ketimpangan ekonomi, adalah hal yang nyata. Jadi wajar saja kalau kopi yang anggaplah bisa saya dapatkan dengan paling tidak 2-3 ribuan di Ponorogo melonjak sekitar 4 kali lipat di Denpasar. Itu baru kopi. Yang lainnya? Bisa kita reka-reka sendiri.

 

Bagi beberapa orang, nangkring di pinggir jalan dengan segelas kopi mungkin terkesan pengangguran. Tak ada kerjaan. Namun bagi sebagian lain, angkringan kopi adalah suatu porsi yang sangat penting. Ketika hari ini orang banyak dikejar dengan deadline kantor, jadwal padat, dan kemacetan. Satu dua kali ngopi di angkringan seperti ini adalah sesuatu yang membahagiakan. Kami hanya dua orang di tengah sekian gerombolan orang yang mungkin juga seperti kami; main kartu, membincangkan masa depan, membayangkan calon istri, dan suatu ketika, mengingat perbedaan harga kopi. Diskusi ringan di pinggir jalan, kelak akan punya pengaruh pada peradaban. Wallahu A’lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline