Lihat ke Halaman Asli

Memaknai Qurban (Dengan Qaf)

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pernah ada ungkapan lama, bahwa jalan masuk surga itu sulit. Jalurnya terjal, mendakinya curam. Kanan kiri ditemani Syaithan. Namun benarkan? Saya kira tidak. Sebagai hamba Tuhan tentunya setiap orang memiliki keberhutangan, kecenderungan untuk mendekatkan diri senantiasa pada Tuhannya. Kita di sini tentu bicara soal fitrah, nature yang terpatri dalam diri manusia sejak ruh ditiupkan ke dalam gumpalan daging yang ada di dalam rahim. Hamba selalu akan terkait dengan Tuhannya, di manapun, kapan pun. Sebagaimana firman-Nya; Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya (Q.S. Qaaf : 16)

Dan hari ini, menarik sekali fenomena yang diberikan Allah kepada kita hamba hamba-Nya. Hari Raya besar kedua Umat Islam, hari ini tengah dirayakan. Orang biasa mengenalnya dengan ‘Idul Adha. Boleh kita samakan hari ini dengan ‘Idul Fitri yang diharamkan di dalamnya orang berpuasa, hari yang diharamkan di dalamnya Umat Muslim ada yang kelaparan. Namun di hari ini setiap kepala dari Umat Islam disunahkan untuk berqurban.

Ada yang keliru dari penggunaan kata saya? Ya, kata itu tidak bakal masuk dalam KBBI atau EYD. Dia telah terindonesiakan dengan berkurban. Sebagai bangsa Indonesia yang adil dan beradab, saya tetap akan gunakan kata yang terakhir ini sebagai terminologi sehari-hari, namun sekarang pertanyaannya, sudah sejauh mana kita pahami esensi atau hakikat dari kata kurban tersebut?

Kata-kata qurban, dalam bahasa Arab sekilas tidak memiliki perbedaan antara dengan istilah korban/kurban yang dipakai di Indonesia. Mafhum kita di sini, betapa banyak dari bahasa Indo-Melayu yang merupakan serapan dari bahasa Arab. Namun ternyata, dimensi konseptualnya  sangat jauh berbeda. Qurban, adalah bentuk mashdar (objek) dari Qaruba, yang berarti mendekat. Sehingga kata Qurban memiliki konotasi kepada sebuah upaya pendekatan. Sangat berbeda dengan kata korban yang mengandung arti penderitaan dan kerugian. ‘Idul Adha istilah lain yang biasa digunakan, adalah ungkapan lain dari Al-Udhiyyah, yang merupakan bentuk tunggal dari al-adhahi. Al-adhahi sendiri merujuk kepada hewan kurban yang disembelih pada hari raya (tanggal 10 Dzulhijjah) dan 3 hari tasyrik setelahnya (11-13 Dzulhijjah).

Maka tentu mampu kita pahami dengan mudah, bahwa secara konseptual ‘Idul Qurban berarti kembali ‘mendekat’ kepada Allah. Saya kira tidak perlu dibeberkan di sini bagaimana hati tidak trenyuh tatkala mendengar kisah Nabi Ibrahim A.S. dalam Q.S. Ash-Shafat: 102. Sekian lama dia tunggu buah hatinya, kemudian datang perintah langsung untuk menyembelihnya? Perasaan siapa pun akan terkoyak, air mata pun mampu menitik memuncak, dada kian tersayat-sayat tatkala dengan tegasnya Ismail A.S. menjawab; “Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapati termasuk orang-orang yang sabar.”

Ayat ini ternyata memiliki relasi yang sangat erat dengan Q.S Al-Kautsar: 2; “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah.” Dijelaskan di dalam at-Tafsiir al-Yasiir karya Syaikh Yusuf bin Muhammad al-Owaid, bahwa al-Kautsar –yang secara harfiah bermaknakan ‘nikmat yang banyak’- adalah sebutan untuk sebuah telaga di surga. Ia adalah telaga yang panjangnya perjalanan satu bulan dan lebarnya juga perjalanan satu bulan. “Airnya lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu. Bejananya sebanyak dan mengkilap seperti bintang-bintang di langit. Baunya lebih harum dari minyak kasturi. Siapa yang meminum satu teguk darinya, maka dia tidak akan merasa haus selamanya. Dan sungai ini adalah bagian dari nikmat yang banyak, yang diberikan Allah kepadanya.” Kaitannya dengan berkurban di sini adalah dorongan dari Allah SWT untuk hamba-hambanya yang telah diberikan nikmat untuk senantiasa mensyukuri dan menjadikannya motivasi untuk beribadah kepada-Nya.

Orang yang konsisten menjalankan ibadah, tentu akan semakin dekat dengan-Nya. Jadi siapa bilang jalan ke surga itu susah, kalau bahkan yang mengajak itu sendiri Sang Empunya Surga? Syaikh Yusuf kian menambahkan, bahwa dua ibadah tersebut dalam ayat –shalat  dan kurban- adalah dua ibadah yang paling utama dan yang paling mulia. Shalat mengandung kedudukan dan ketaatan (inqiyad wa ta’ah) kepada Allah SWT, di hati dan di anggota badan. Sedangkan menyembelih adalah bentuk pendekatan diri kepada Allah dengan harta berharga ang dimiliki manusia, yaitu onta, sapi dan kambing. Padahal jiwa manusia itu secara kodrati amat mencintai harta. Manusia selalu menjadi subyek yang tidak mengindahkan banyak hal di sekelilingnya sehingga terlupakan (maa nusiya), yang kemudian dinisbatkan kemudian dalam istilah kita; Manusia.

Masuk Surga itu bukanlah kesulitan yang terbungkus dalam janji-janji atau iming-iming  hadiah, namun sebuah kemudahan yang telah termanifestasi dalam perintah-perintah Allah. Termasuk dalam ‘Id Qurban ini. Ia juga telah ditekankan  oleh Nabi : “Barangsiapa yang memiliki kelapangan, sedangkan ia tidak berkurban, janganlah dekat-dekat tempat shalat kami.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan al-Hakim). ‘Tekanan’ yang tegas itu bukanlah mengindikasikan perintah yang diktator atau tirani, namun semata-mata sebagai simbol atas ketaatan Rasul kepada-Nya. Mata harus ‘melek’ agar tidak lupa alias nasiya atas situasi sosial umat yang tengah berlangsung hari ini. Lebih jauh pun Ibnu Umar r.a. pun mengiakan bahwa Rasulullah tidak hanya ‘menyuruh’ lantas lepas begitu saja, namun memberikan contoh kongkrit dalam praktiknya; Kata Ibnu ‘Umar; Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam selama sepuluh tahun tinggal di Madinah, beliau selalu menyembelih kurban” (HR. Ahmad dan al-Tirmidzi).

Hari ini, kita semua berharap untuk tetap menghayati makna ‘kurban’ sebagai ‘qurban’. Upaya untuk mendekati, upaya untuk senantiasa, selalu, dan terbiasa dekat dengan-Nya. Tidak bisa dengan unta, berkurbanlah dengan sapi. Tak mampu sapi, kurbanlah dengan kambing. Tak mampu kambing, tak usah takut, niat baik anda yang tidak terlaksana tahun ini Insya Allah akan terlaksana tahun depan. Bahkan kalau perlu tidak lagi di Bumi Pertiwi, namun  justru berkesempatan untuk berkurban di Tanah Suci. Allahumma Aamiin. Allahummastajib du’aa.

Selamat berkurban, selamat mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, selamat mendapat kemudahan untuk masuk ke surga-Nya. Wallahu A’lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline