Butir demi butir gerimis dari kedua mata, terus berguguran di atas kertas usang, melunturkan tinta pada sebagian puisi, terlebih, menyempitkan ruang dada hingga terasa penuh sesak.
Di bayang cermin berembun, nampak wajah pucat memilukan, dan terdengar lirih batin memaki arti diri yang berulang enggan beranjak melupa kesakitan cinta, walau warna esok tlah tiada harapan untuk sekedar jumpa bahagia.
Aku tahu, inilah kesungguhan rindu yang terabaikan, atau bahkan terkesan murahan, yang menjadikan jiwa-jiwa pen-cinta semakin memahami seberapa pentingkah arti diri dalam harapan.
Mungkin, aku perlu berjuta-juta detik untuk sekedar merangkaki waktu, dan membunuh perasaan. Tetapi, pernahkah sedikitpun engkau berpikir, sesungguhnya perasaanku tlah melupa waktu dengan detik-detiknya? Sedang engkau hanya mampu menenggelamkan wajah diri dalam kepasrahan tangis, berteduh sebagai luka, dan melantunkan kesedihan di jiwamu sendiri.
Sungguh aku tiada ingin memiliki kenyataan ini. Seperti-ku hanya menikmati kerinduan pada cermin berembun, di ruang jauh yang sepi, dengan kenisbian cinta yang berbalut keharuan kalam-kalam arwah puisi.
Entah?
Baiknya aku diam. Karena bagiku, diam akan lebih mengerikan dari sebuah proses kematian. Lalu, di saat mereka merayakan kebahagian, aku berharap, engkau akan mampu menempati ruang kejujuran tanpa adanya puisi tentang kita, juga tanpa menumbuhkan kenangan secuilpun tentang segala waktuku.
Aku tersenyum, kini, dan akan selalu tersenyum manis ketika malam tlah kembali mengusung gelapnya, hingga memenuhi alam kesadaranku, meski tiada lagi warna esok, tiada lagi engkau mengingatku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H