Lihat ke Halaman Asli

Paradigma Seujung Pena

Diperbarui: 4 Juli 2016   13:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Se-siang ini
ruang anganku mengecil
menyerupa sisa-sisa tinta di ujung pena
melantun arwah puisi
tentang sgala warna hati
menyatu dengan rahsa diri
memiliki hasrat kerinduan
yang tiada habis ditelan kenestapaan.

Pada wadah paradigma
di dalam senyap ilusi
nampaklah cinta
duduk bersila di bangsal ajaib semesta  
bersimbah kelopak bunga
memaparkan aroma surga
melempar senyum kesejukkan dari jiwa

dan...seperti-ku berlari di alur puisi
semoga-ku mulai memperlambat waktu
merenungi rindu di retak cermin hari  
lebih lama, diam-diam memandangi cinta.

Se-siang ini
bias sinar mentari jatuh di jendela hati
kala mata enggan sepenuhnya terbuka
raga berkulit tanah-pun tiada berdaya
hanya terdengar bahasa puisi
yang terlampau nikmat untuk dikaji
sebagai pengobat kelukaan
sebab cinta tlah bersembunyi
di jari-jari ruhani
dalam balutan selendang bidadari.

Bila cerah sewaktu-ku tiada kembali
ingatanku akan tetap mengecil
lalu membiarkan cinta, menjauh
dari keangkuhan rahasia
menyesap napas bunga yang keruh
dan selalu kuingat rindu sepenuh luruh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline