Lihat ke Halaman Asli

Intoleransi Agama dalam Media Sosial

Diperbarui: 14 Februari 2022   13:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Media sosial menjadi jaringan penghubung antar manusia yang mudah, cepat, dan luas. Sayangnya di tengah kemudahan itu, media sosial justru kerap digunakan sebagai wadah bagi ujaran kebencian dan sikap maupun tindakan intoleransi. Kini tak sulit untuk menemukan berbagai tindakan intoleran terhadap agama-agama/suatu keyakinan dalam platform media sosial seperti Tiktok, Twitter, Instagram, Youtube, Facebook, Line, Whatsapp, Website, dan platform-platform lainnya. 

Tindakan intoleransi agama ini pada umumnya mencuat pada waktu-waktu pemilu, baik dalam pemilu presiden-wapres, pemerintahan pusat, maupun pemerintah daerah. Namun kini tindakan intoleransi tersebut terjadi kapanpun dan dimanapun. Bahkan begitu banyak komentar intoleran dalam konten-konten yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan agama. Tindakan intoleran ini dapat berupa penggunaan nama Nabi, Tuhan ataupun suatu kepercayaan dengan tidak semestinya, mengatakan "kafir", "sesat", dan lain sebagainya. Apalagi saat ini merupakan era post-truth, dimana kebenaran tak berarti tunggal.

Kaum Muda sebagai pelaku Intoleran

Tindakan intoleransi biasanya dilakukan oleh kaum mayoritas akibat kecenderungan bahwa mayoritas merasa lebih superior (unggul), sehingga menindas mereka yang minoritas. Selain itu ada pula doktrin dalam masyarakat yang menyebabkan timbulnya perasaan bahwa mayoritas tertindas oleh kaum minoritas. Hal ini turut menjadi penyebab tindakan kaum mayoritas untuk melawan/memerangi kaum minoritas. Semakin miris lagi adalah bahwa tindakan intoleran malahan banyak dilakukan oleh kaum muda. 

Menurut survei The Wahid Intitute pada 2016, kaum muda terlibat dalam dukungan aktivitas kekerasan keagamaan dan terorisme mencapai 76% dan mendukung aksi intoleran sebesar 46%. Lalu mengapa kaum muda? Menurut Jurnal Studi Pemuda vol 5, no 1, Mei 2016 ada empat faktor yang mempengaruhi. Pertama, kaum muda mudah terpengaruh yang pada masa itu otak mereka sedang dalam masa under-construction, masih dalam proses pencarian nilai dan pedoman bagi mereka. 

Menurut Jean Piaget, seorang anak belajar melalui proses asimilasi dan akomodasi dalam pengembangan proses dan pola pikirnya. Dalam proses asimilasi, orang mengubah realitas obyektif menjadi pemenuhan pola pikir yang sudah terbentuk sebelumnya, dan dalam proses akomodasi orang mengubah pola pikirnya agar sesuai dengan realitas obyektif yang ada. Kedua, adanya ketimpangan politik yang menimbulkan spekulasi bahwa kaum muda kurang mendapatkan akses memadai. Ketiga, persoalan ketimpangan ekonomi. Dan keempat, masalah pemahaman teks keagamaan yang keliru.

Peran Pemerintah 

Dalam memerangi tindakan intoleransi agama tentu tidak bisa semata-mata hanya mengandalkan kesadaran masyarakat semata, dimana pemerintah perlu ikut terjun untuk menagani masalah-masalah intoleransi yang ada. Menurut analisis The Wahid Institute pada 2010, tindakan intoleran justru terus terjadi akibat adanya pembiaran yang dilakukan negara. PB NU pun beranggapan demikian, dimana PB NU menilhat bahwa pemerintah gagap dalam membangun "kontra-narasi" sehingga tindakan intoleran dapat tumbuh subur di dunia maya/sosial media. 

Sikap moderat dan toleransi terus digempur oleh tayangan, konten, dan komentar-komentar intoleran yang begitu mudah disebar dan viral di media sosial. Oleh karena itu diperlukan suatu tindakan untuk mengcounter tindakan intoleran ini. Alamsyah M. Djafar, peneliti Wahid Institute berharap agar aparat dan pemerintah, termasuk pemerintah daerah, diminta tegas agar kasus kekerasan terhadap minoritas dan tindakan intoleransi tidak meluas. Alamsyah juga beranggapan bahwa diperlukan law enforcement dan keberanian pemerintah untuk menegakkan konstitusi. Tentu dalam prosesnya harus melalui koridor hukum dan menghormati hak-hak asasi manusia.

Sungguh disayangkan ketika suatu keyakinan masih harus dipaksakan terhadap orang lain. Dalam dokumen gereja, Dignitatis Humanae, Konsili Vatikan II menyatakan bahwa kebebasan beragama merupakan salah satu hak-hak asasi manusia dimanapun dan kapanpun. 

Oleh karena itu menyembah Yang Ilahi, tidak seorangpun boleh/layak dipaksa. Dignitatis Humanae  juga menyatakan bahwa Gereja tidak menolak apapun yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus, Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah- kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline