Lihat ke Halaman Asli

Bukan Guru, tapi Birokrasilah Penentu Sukses atau Gagalnya Kurikulum 2013

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Terlepas dari berbagai kekurangan proses kelahirannya, gagasan futuristik raison d'etre Kurikulum 2013 seperti mengakomodasi tuntutan kemajuan dunia dan menyongsong generasi Indonesia emas adalah sinyalemen kebangunan kembali kualitas pendidikan nasional. Tapi itu baru sinyalemen. Percayalah, semua kurikulum yang sudah digagas dan diterapkan bangsa ini selama ini adalah yang terbaik pada masanya. Tetapi mengapa kualitas tidak kunjung membaik dibandingkan dengan pencapaian pendidikan di negara-negara tetangga ataupun negara-negara maju di dunia?

Secara teoretis, penentu keberhasilan pendidikan yang paling langsung adalah si pembelajar sendiri (peserta didik). Di sisi lain, peserta didik itu adalah pribadi unik potensial yang masih membutuhkan pendampingan dan pengarahan. Di situlah peran pendidik (guru di sekolah, orangtua di rumah). Jadi, penentu kedua adalah pendidik. Tetapi dalam konteks gerakan perubahan, jangan lupa, pendidik itu sama dengan peserta didik dalam hal ketergantungannya pada penggerak yang lebih berkuasa di atasnya. Itulah kepemimpinan pendidikan yang di tanah air kita identik dengan penguasa.

Birokrasi pendidikan (mulai dari Mendikbud, Dirjen, Kepala Dinas, sampai pada para pengawas di lapangan) adalah change sponsor dan change agent gerakan perubahan pendidikan. Tidak ada perubahan yang bersifat bottom-up. Perubahan harus top-down. Perubahan pada kultur belajar peserta didik dan kultur kependidikan para guru dan kepala sekolah sangat banyak diwarnai dan ditentukan oleh cara pandang dan perilaku mendarahdaging dalam birokrasi. Perubahan ke arah yang lebih baik mustahil terjadi kalau birokrasi masih feodalistis. Perubahan ke arah yang lebih baik mustahil terjadi kalau birokrasi masih senang meminta disalam tempel dan tidak mau dicatat dalam bukti pengeluaran sekolah. Perubahan ke arah yang lebih baik mustahil terjadi kalau birokrasi masih menuntut THR tanpa kuitansi dari sekolah-sekolah padahal dia digaji oleh negara. Perubahan ke arah yang lebih baik mustahil terjadi kalau kegiatan pendidikan cenderung bersifat proyek seperti menyelenggarakan ulangan umum bersama atau Tryout bersama dengan kualitas soal yang memprihatinkan dengan penyusun soal yang tidak tahu rimbanya dari mana berasal. Perubahan ke arah yang labih baik mustahil terjadi kalau penyunatan-penyunatan masih marak. Perubahan ke arah yang labih baik mustahil terjadi kalau pola kepemimpinan, termasuk rapat-rapat dan kegiatan lainnya yang menghimpun para kepala sekolah jauh dari kualitas yang diharapkan.

Masih banyak sederetan catatan kelam lainnya yang menunjukkan bahwa yang terutama harus mendapat pelatihan pengelolaan pendidikan yang benar adalah birokrat pendidikan. Niscaya guru akan mudah berubah kalau perubahan itu mengalir dari atas. Guru tidak boleh dikelola seperti sumber daya non-manusia. Dalam pendidikan, perubahan tidak pernah boleh mengelola orang, tetapi memimpin rekan kerja. Bukan manajemen pendidikan yang harus dikedepankan, tetapi justru kepemimpinan pendidikan. Para birokrat pendidikan haruslah menjadi gurunya guru, leader, karena change is not managed, but led.

Kurikulum 2013 adalah momentum perubahan bangsa. Kalau perubahan birokrasi pendidikan tidak menjadi fokus penting dalam momentum perubahan ini, percayalah, Indonesia emas itu masih akan jauh panggang dari api.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline