Lihat ke Halaman Asli

Alot Andreas

Saya pensiunan guru, pernah mengajar bhs Inggris di sebuah SMA swasta di Jakarta, sebelumnya mengajar di beberapa SMP sbg guru honorer (baik di Maumere maupun di Kupang . Pernah menjadi kepala SMP Negeri di Bola-Maumere; memfasilitasi berdirinya beberapa ormas tkt lokal, pernah menjadi ketua umum alumni Unika Widya Mandira Kupang di Sikka; pernah menjadi MC (bhs Inggris) dan interpreter dalam festival budaya tahunan NTT. Dalam bidang pendidikan, saya pernah lulus IELTS thn 1993 utk ke Flinders University tapi tdk diberangkatkan tapi msh sering update score profisiensi sy via bbrapa kali TOEFL. Sekarang dipercayakan sebagai Ketua Dewan Pembina sebuah yayasan baru (Sandadin-Evergreen Foundation) berlokasi di Maumere. Gagal diberangkatkan ke Flinders University, pd thn 2006-2008 saya lanjutkan studi tkt master di Surabaya (bid. Teknologi Pembelajaran).

Tidak Atasi Problem Finansial, Relakan Identitas Memudar

Diperbarui: 23 Mei 2024   12:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

*Masih tentang Swasta VS Negeri

Tulisan yang bertajuk "Swasta versus Negeri: apa dasar polemiknya?" mendapat beragam tanggapan. Ada yang hanya berupa 'acungan' jempol, ada yang menyatakan ucapan terima kasih, tapi ada pula yang menulis tanggapan dalam beberapa kalimat. Itu yang penulis jumpai di beberapa WA grup termasuk yang berkategori japri. Salah satu di antara yang memberi acungan jempol adalah orang yang beberapa hari sebelumnya pernah 'terlibat perdebatan' cukup sengit di salah satu grup WA. Perdebatan itu sebagai bentuk tanggapan terhadap berita seputar penegerian sekolah yang dirilis sebuah konten berita online. Berita itu di'share' salah seorang anggota grup itu  dengan pesan : "Bagaimana tanggapan bapak-ibu yang paham/mengerti tentang peralihan ini?" Maksudnya pengalihan status swasta ke negeri bagi enam sekolah swasta yang ada dalam berita itu. Juga ia meminta tanggapan terhadap tanggapan dari salah seorang akademisi salah satu kampus di Maumere terhadap peralihan atau pengalihan itu. Tanggapan atas tanggapan.

Bersama beberapa kawan sehaluannya, pengirim tanda jempol tadi menuliskan tanggapan yang arahnya menuntut perhatian lebih dari pemerintah demi keberlangsungan sekolah swasta. Penekanannya lebih pada bantuan tenaga guru ASN ke sekolah swasta sekaligus dukungan dana untuk sekolah swasta agar tidak ada diskriminasi. Sementara pendapat yang berseberangan dengan itu menuntut penyelenggara pendidikan yang berstatus swasta untuk tidak mendirikan sekolah hanya demi mendapatkan keuntungan finansial; malah dengan agak vulgar seolah menuduh pihak penyelenggara swasta memanfaatkan sekolah sebagai ATM untuk meraup dana.

Lain lagi tanggapan seorang klerus terhadap tulisan tentang sekolah swasta versus negeri: apa dasar polemiknya itu. "Ulasannya menarik. (Tapi) saya mendapat kesan dari opini di atas, (kalau) segala-gala  butuh uang saat ini, tapi uang juga bukan segalanya", tulis klerus itu diakhiri dengan tiga jempol sekaligus. Membalas tanggapan beliau, penulis tulis begini: "Benar, romo, uang bukan segalanya. Tapi dalam konteks pengelolaan sekolah, amat terasa dampak dari kekurangan uang itu. Dengan dana yang tidak memadai, honorarium guru diberi seadanya, biaya operasional sekolah serba kurang, sampai kadang langganan listrik dan air pun sulit dibayar. Agak sulit membantah realita ini. Penulis lalu menambahkan: "Pernah ada sekolah swasta yang kepala sekolahnya mengeluh, para guru dan pegawai sering tidak hadir di sekolah. Seorang petinggi pemerintah yang tahu tentang hal itu menyempatkan diri datangi sekolah itu dan mendapatkan fakta menyedihkan. Ternyata, mereka tidak hadir karena kehabisan uang transpor. Dapat dibayangkan, bagaimana pemenuhan kebutuhan makan-minum mereka, belum lagi kebutuhan mandi dan cuci yang biasanya tabu kita ungkap itu, romo?"  

Sang klerus amat berempati terhadap realita itu lalu menulis dalam tanggapan baliknya: "Sungguh miris nasib mereka. Perlu ada kebijakan ..."

Pemaparan cerita di atas mungkin saja tidak begitu menarik untuk sebagian pembaca. Namun hal itu dimaksudkan agar kita benar-benar turut merasakan atau menghayati nasib guru dan tenaga kependidikan* di lembaga pendidikan  yang katanya utuk mencerdaskan kehidupan bangsa tapi ternyata kebutuhan dasar mereka sendiri saja belum terpenuhi. Apa jadinya nanti? Tugas mulia itu hanya tinggal angan-angan saja, tanpa ada wujud nyatanya. Bagaimana mau urus orang lain, sementara diri mereka sendiri saja masih berada dalam kesulitan hidup yang mengenaskan? Dalam sebuah kutipan bijak tentang orang saleh, dikatakan: "Orang saleh itu sudah selesai dengan dirinya sendiri sehingga mampu menyelesaikan persoalan tanpa persoalan. Bagaimana dengan guru yang belum selesai dengan diri mereka sendiri, dalam konteks belum memenuhi kebutuhan dasar mereka sendiri, apakah bisa diharapkan mereka mampu mengemban tugas  mulia itu dengan optimal? Tentu sulit untuk dikatakan optimal.

Sampai di sini, kiranya kita sudah bisa memahami secara lebih mendalam betapa urusan finansial itu urusan yang amat mendasar. Adagium segala-galanya butuh uang tapi uang bukan segalanya memang suka digaung-gaungkan orang tapi itu bisa berlaku pada konteks lain. Bukan pada urusan pendidikan, khususnya pendidikan formal yang memang membutuhkan uang selain untuk biaya operasional sehari-hari, biaya kegiatan-kegiatan pelatihan, biaya pemeliharaan fasilitas sekolah, juga terutama untuk mati-hidupnya "the man behind the gun", para pelaksana, pelaku utama jalannya mesin pencetak manusia muda penerus bangsa yang ditargetkan harus unggul di tahun 2045. Untuk konteks ini berlaku adagium "Meski uang bukan segalanya tetapi ketika kita tidak memilikinya akan membuat keadaan menjadi sulit."

Selanjutnya, bagaimana dengan identitas khas lembaga pendidkan yang memang tidak bisa dipandang dengan sebelah mata? Hal ini bisa saja dipandang sebagai hal yang subyektif tetapi langsung menyangkut keimanan dari penganut agama yang diakui negara, agama resmi. Dengan begitu urusan identitas keimanan tidak sepantasnya dipandang sebagai hal yang subyektif lagi, ia urgen dan wajib dipelihara dan dijaga kelestariannya.

Begitu mendapat kiriman artikel penulis tentang "sekolah swasta versus sekolah negeri: apa dasar polemiknya?", salah seorang anggota DPR RI dari Komisi X  men-'share' konten berita yang sama seperti yang diperdebatkan di atas disertai dengan sejumlah pendapat dari para klerus. Antara lain, tentang akan diturunkannya atribut-atribut keagamaan di setiap ruang kelas dan kantor sekolah, juga situs-situs khusus untuk peribadatan di halaman sekolah seperti gua Maria atau stasi-stasi untuk ibadat jalan salib selama masa prapaska seperti yang sudah diadakan di sekolah tertentu, dan perlengkapan serta fasilitas sejenis itu akan ditiadakan.  Demikian juga kebiasaan berdoa Angelus setiap siang diiringi lonceng sepanjang doa didaraskan akan lenyap tak berbekas. Ketika telah menjadi lembaga pendidikan yang tidak khas lagi, semuanya itu tidak gampang untuk dipertahankan.

Mempertahankan  nilai keimanan tidak hanya dengan kata-kata belaka. "Nilai keimanan tetap akan dipertahankan pada lembaga pendidikan dengan nomenklatur baru itu", kira-kira itu janji para pihak yang berkompeten dalam proses pengalihan itu. Tidak bisa berbentuk janji saja seperti itu tanpa simbol-simbol keimanan yang kita pertahankan. Itu hanya sekadar berbentuk "akan" saja. Hal itu harus ditunjukkan lewat simbol-simbol keagamaan yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari peribadatan dalam agama yang kita anut. Masih menurut klerus itu, bila sudah berubah nomenklatur, hal-hal berharga bagi agama itu akan hanya bersifat fakultatif saja. 

Meresapi betapa pentingnya nilai ibadah dengan segala simbolnya itu, mari kita lihat rumusan para "founding fathers" kita tentang negara tercinta ini. Negara Indonesia merupakan negara kesatuan dengan Pancasila sebagai ideologinya dan Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyannya. Artinya kita hidup dalam negara yang bukan hanya ada agamanya tetapi ada pula keragamannya. Sejauh keragaman itu tidak destruktif, kita patut menerimanya. Dan keberagaman serupa itu wajib kita jaga dan lestarikan. Bukankah taman yang indah itu terdiri dari keanekaragaman warna bunga nan asri? Betapa suatu kekayaan yang menjadi kebanggaan kita dan tak ada bandingannya di dunia ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline