Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan yang diwarisi secara turun temurun lintas generasi. Bahasa daerah Menurut UU Nomor 24 Tahun 2009 adalah bahasa yang digunakan secara turun-temurun oleh warga negara Indonesia di daerah-daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai keragaman bahasa daerah yang sangat tinggi. Tercatat menurut ethnologue.com. jumlah bahasa daerah Indonesia yang terdaftar sebanyak 719, dimana 707 adalah bahasa yang hidup dan 12 yang telah punah. Dari bahasa yang hidup, 701 adalah asli dan 6 adalah non-asli. Selain itu, 18 bersifat institusional, 73 sedang berkembang, 188 kuat, 347 dalam kesulitan, dan 81 sedang sekarat.
Keragaman bahasa yang sangat tinggi menuntut negara untuk dapat memeliharanya agar tidak terjadi kepunahan bahasa. Kewajiban tersebut tertuang dalam UUD 1945 Pasal 32 yaitu: (1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. (2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Namun seiring berkembangnya teknologi dan pesatnya globalisasi bahasa daerah mulai tergerus. Hal ini terbukti dengan banyaknya anak yang lebih menguasai bahasa Indonesia ataupun Inggris dibandingkan dengan bahasa daerahnya.
Kedudukan bahasa daerah dalam sistem pendidikan di Indonesia
Berdasarkan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 33 dikatakan bahwa Bahasa Indonesia digunakan sebagai Bahasa Negara dan menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan nasional. Sementara Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu. Disini bahasa daerah hanya digunakan sebagai penunjang pembelajaran supaya siswa pemula yang belum mengenal bahasa Indonesia dapat belajar dengan baik.
Pada Pasal 37 UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan, dan muatan lokal. Sementara Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat: pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, dan bahasa. Dalam pengemabngannya, bahasa yang diwajibkan adalah bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris yang notabene merupakan bahasa asing.
Bila ditilik balik pada tahun 1999, sebelum adanya undang-undang tersebut, Bahasa Daerah sudah diajarkan di semua SD dan SLTP. Bahasa daerah yang telah diajarkan dipendidikan meliputi bahasa Aceh, Gayo, Batak Mandaliling, Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Melayu, Rejang, Lampung, Sunda, Cirebon, Madura, Dayak Simpang, Dayak Kanayatan, Banjar, Kutai, Tombulu, Tonsawang, Mongondow, Bugis, Makasar, Mandar, Toraja, Tolaki. Muna, Wolio, dan Bali. Lebih jauh lagi kebelakang, pada era sebelum kemerdekaan, bahasa Jawa dijadikan bahasa pengantar pendidikan dan sebagai mata pelajaran (Wibawa S. 2013). Lantas bagaimana kedudukan Bahasa Daerah dalam kurikulum pendidikan terbaru di Indonesia?
Pembelajaran Bahasa Daerah di Kurikulum 2013
Kurikulum pendidikan Indonesia yang berlaku sekarang adalah kurikulum 2013. Sebelumnya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), bahasa daerah dimuatkan dalam muatan lokal (Wibawa S. 2013). Muatan lokal berfungsi untuk mengembangkan kemampuan siswa yang dianggap perlu oleh daerah yang bersangkutan sesuai dengan keadaan lingkungan dan ciri khas satuan pendidikan yang bersangkutan dengan tidak mengurangi kurikulum yang berlaku secara Nasional ( Pasal 14 ayat 3 PP No 28 Tahun 1990). Keberadaan mata pelajaran muatan lokal merupakan bentuk penyelenggaraan pendidikan yang tidak terpusat, sebagai upaya agar penyelenggaraan pendidikan di masing-masing daerah lebih meningkat relevansinya terhadap keadaan dan kebutuhan daerah yang bersangkutan (Wibawa S. 2013).
Kurikulum Tahun 2013 yang menggabungkan muatan lokal dengan seni budaya, bahkan di kalangan tertentu, muatan lokal dan seni budaya hanya dimaknai mata pelajaran seni budaya saja dengan meniadakan bahasa, sastra, dan budaya daerah. Pembelajaran bahasa, sastra, dan budaya daerah pada Kurikulum 2013 hanya bertumpu pada tanda bintang, yang menyebutkan bahwa muatan lokal bisa bahasa daerah. (Wibawa S. 2013). Sementara itu, untuk menerapkan K-13, pemerintah mengadakan Program diklat/bimtek K-13 mulai jenjang SD, SMP, dan SMA, dan SMK.
Namun ternyata bimtek tersebut hanya mengakomodir kelas dan mata-mata pelajaran yang masuk ke dalam kurikulum nasional saja, sedangkan mata pelajaran mulok diserahkan kepada pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota). Walau demikian, ternyata pemerintah daerah belum ada yang belum memprogramkan diklat/bimtek K-13 bagi guru-guru mulok wajib bahasa daerah. Akibatnya para guru mulok wajib bahasa daerah tertinggal informasi bahkan merasa dianaktirikan oleh pemerintah (Apandi 2018).
Hal ini sangat disayangkan dan berbending terblik dengan Bahasa Asing yang diajarkan. Bahasa Inggris telah lama masuk dalam matapelajaran tersendiri di setiap sekolah, bahkan sudah masuk dalam Ujian Nasional yang beberapa tahun yang lalu menentukan kelulusan siswa. Pada sekolah yang menginduk pada Kementerian Agama, Bahasa Arab juga sudah masuk pada matapelajaran tersendiri dan masuk dalam Ujian Madrasah.