Lihat ke Halaman Asli

Spirit Natal Dalam Konteks Lokal di Kota Manado

Diperbarui: 22 Desember 2015   19:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya mengawali tulisan ini dengan ucapan syukur kepada Tuhan, karena Dia masih memberikan keluasan berpikir dari banyaknya pekerjaan dan kedewasaan menempatkan diri dari banyaknya perbedaan-perbedaan yang muncul ke permukaan. Pekerjaan dan perbedaan adalah dua hal yang seiring sejalan terus menemani diri manusia dimana pun berada. Bekerja adalah suatu kewajiban individual untuk kemaslahatan sosial. Namun, di satu sisi realitas perbedaan juga terkadang menuntut pilihan-pilihan, apakah berhenti, memberontak, lalu menutup diri atau tetap melanjutkan atas nama keprofesionalan dan nilai kemanusiaan universal.

Sebagai seorang muslim di perantauan yang menghormati ajaran toleransi, saya merasa terpanggil untuk sekedar menuliskan beberapa pandangan tentang bagaimana seharusnya kita mengkaji sekaligus memahami spirit Natal dalam konteks lokal khususnya di Kota Manado. Tulisan ini merupakan tinjauan umum saja, karena faktor keterbatasan waktu, dana, dan kendala geografis. Selain itu, tulisan ini juga ingin menguraikan lima cara pandang baru terhadap perayaan Natal. Sehingga, umat beragama masa kini bisa merefleksikan secara rasional transformatif, bukan emosional anarkis.

Ada sebuah ungkapan yang mengatakan, “Impossible to create harmony without the conflict”. Saya berkeyakinan, dimana ada manusia, pasti disitu ada konflik. Apakah konflik internal ataupun eksternal. Dan setiap konflik selalu memaksa kita untuk melakukan perubahan, mempertajam prinsip, serta memperjuangkan pilihan. Galtung, pendiri studi perdamaian menganalisis konflik dan resolusinya menggunakan model segi tiga yaitu kontradiksi (contradiction), sikap (attitude), dan kebiasaan (behaviour). Galtung menamakan kontradiksi untuk situasi dimana ada gap antara nilai sosial dan struktur sosial. Istilah sikap disini adalah persepsi-persepsi para pihak yang sekelompok atau tidak.

Sikap itu meliputi, emosi, pikiran, dan kehendak. Sedangkan kebiasaan meliputi jenis-jenis kooperasi atau koersi, usaha-usaha menuju perdamaian atau kekerasan. Bagi Galtung, hubungan ketiga komponen konflik ini dinamis dan saling terkait satu sama lain. Radikalisme (yang berkaitan erat dengan konflik) dapat didefinisikan sebagai tindakan kekerasan dan intoleransi yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk memaksakan keyakinan mereka kepada kelompok orang lain. Mulai dari faktor ras, ideologi politik, ekonomi, dan keyakinan agama.

Setidaknya, ada tiga faktor utama yang ikut mengkonstruksi sehingga Kota Manado begitu identik dengan istilah "Multicultural Society". Keidentikan ini sudah pasti menimbulkan harapan dibenak kita semua agar tidak terjadi perilaku radikalisme agama khususnya pada momentum Natal tahun ini. Pertama, konstruksi historis. Realitas sejarah Manado tidak bisa dilepaskan dari peran sebagian besar orang Portugis dan Belanda dalam melakukan Kristenisasi secara menyeluruh dan ini sukses luar biasa. Minahasa yang menjadi miniatur umat Kristen di Sulawesi Utara menjadikan bentukan sejarah ini sebagai pondasi untuk memperkuat identitas keagamaan yang diyakini dapat membawa kekuatan intelektual, emosional maupun spiritual. Kehadiran Islam di Kota ini ikut menjadi warna tersendiri. Ajaran Islam hadir belakangan berkat jasa dari beberapa raja dari Kesultanan Ternate-Tidore melalui jalur perdagangan juga dakwah.

Kemudian ada juga  pahlawan dari Sumatera serta Jawa seperti Tuanku Imam Bonjol juga Kyai Modjo dan pada episode berikutnya menyusul dari Gorontalo. Seiring berjalannya waktu, ajaran Islam di Kota Manado mulai bertransformasi dari nuansa nonformal menuju bentuk ajaran yang terformalkan dalam lembaga pendidikan yaitu pesantren. Pesantren di Kota Manado yang menonjol adalah Pondok Karya Pembangunan, Pondok Assalam, Pondok Al-Khaairat, Pondok Darul Istiqomah dan Pondok Hidayatullah. Dalam periode kekinian, mayoritas Kristen dan sebagian muslim dari Gorontalo, Sangihe, dan Bolaang Mongondow. Percampuran kedua sub agama ini melahirkan sebuah sistem yang bernama situasi sosial. Situasi sosial terdiri atas orang, tempat, dan aktivitas. Ketiga elemen penting ini terus berinteraksi sehingga menghasilkan bentuk kebiasaan juga pemakluman yang menyejarah dan disepakati bersama, baik dalam bidang pendidikan, perekonomian, politik, maupun etika hidup beragama.

Kedua, konstruksi sosiologis. Dalam analisis saya, Motto “Torang Samua Basudara” memiliki kekuatan pada komunitas beda agama/beda suku di Kota Manado. Ini dibuktikan dengan (1) Jarak antar rumah ibadah yang saling bersebelahan termasuk juga rumah warganya (2) Terjadinya proses kawin mawin antara masyarakat lokal dengan alasan kedamaian sebuah Kota diukur dari kedamaian sebuah Keluarga. Perbedaan iman/suku tidak menjadi masalah, keharmonisanlah yang utama. (3) Adanya pembauran sekaligus keterlibatan dalam dunia struktural pemerintahan antara Kristen-Islam menurut kriteria kesukuan akibat poin 1 dan 2. Sehingga,  interaksinya semakin intens.

Implikasi dari kenyataan ini memiliki kekuatan sosiologis dalam wilayah komunitas beda agama. Konsep komunitas ini terbagi kepada dua yaitu : territorial dan relational. Secara territorial, komunitas dikaitkan dengan satu kawasan geografi. Kajian yang menggunakan pendekatan relational pula melihat komunitas sebagai satu daripada sifat manusia yang berkaitan. Menurut Hillery (1951), komunitas ialah suatu kumpulan manusia yang menduduki suatu kawasan geografi. Kesemuanya terlibat di dalam aktivitas-aktivitas ekonomi dan politik, yang juga membentuk satu unit sosial dengan nilai-nilai tersendiri serta perasaan kekitaan. Ketiga, konstruksi yuridis. Hal ini bisa dilihat pada UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2 yang menjamin kebebasan bagi setiap pemeluk agama untuk meyakini sekaligus merayakan ibadahnya. Dan menghukum pelaku diskriminasi. Tiga faktor ini pada akhirnya melahirkan model-model keberagamaan di Kota Manado. Meliputi : substansi pemikiran yang toleran, struktur pergaulan yang tidak memandang kelas sosial, dan kultur pengalaman yang beragam.

Setelah saya memaparkan secara ringkas argumen-argumen di atas, kiranya kita dapat menerima bahwa Natal adalah suatu kenyataan historis, sosiologis, dan yuridis mutlak pada masyarakat lokal di Kota Manado tanpa mengusik ketentraman teologis masing-masing agama. Natal adalah salah satu perayaan Umat Kristen setiap tahun pada 25 Desember karena diyakini sebagai hari kelahiran Yesus Kristus. Meskipun di sana banyak terdapat pertentangan. Tapi, saya berusaha melepaskan diri dari pertentangan itu (bukan bermaksud menafikan sejarah) dan mencoba menterjemahkan Natal kepada makna akademis kontemporer. Kata “Natal” berasal dari ungkapan bahasa Latin Dies Natalis (hari lahir). Dalam bahasa Inggris perayaan Natal disebut Christmas, dari istilah Inggris kuno Cristes Maesse (1038) atau Cristes-messe (1131), yang berarti Misa Kristus. Karena mendapat legitimasi secara historis, sosiologis, dan yuridis, perayaan Natal di Manado berubah menjadi sebuah adat Kekristenan. Bagi Malinowski (1926) adat ialah satu ragam tingkah laku yang secara tradisinya telah diselaraskan ke atas anggota suatu komunitas. Sapir (1931) berpendapat bahwa perkataan adat digunakan untuk keseluruhan pola tingkah laku yang telah dibentuk oleh tradisi dan tersemat di dalam jiwa raga sesuatu masyarakat.

Mengingat Natal telah menjadi semacam adat atau kebiasaan yang diikat oleh aturan religius dan wajib dilaksanakan di Kota Manado. Maka, di sinilah saya akan menguraikan lima cara pandang baru yang progresif melalui proses penafsiran akademis kontemporer. N = neighbour. Nilai-nilai persaudaraan dan semangat berbagi harus berawal dari tetangga terdekat. Kita bisa menjadi edukator, atau fasilitator kepada tetangga-tetangga yang mendapat masalah. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Socrates kepada pemuda-pemuda di Athena. Pola keakraban ini jika dibangun dari sekarang, maka akan berdampak positif bagi kemajuan peradaban masyarakat lokal.

A=attitude. Setelah nilai-nilai persaudaraan dan kemanusiaan terjalin, maka sikap yang sebaiknya kita terapkan adalah : menemukan model interaksi sosial yang produktif, membuktikan masalah lewat solusi aplikatif, dan mengembangkan produk budaya lokal dalam ruh agama. T = theology. Ketika nilai-nilai persaudaraan telah menyatu dengan sikap kita, maka buah dari aspek-aspek teologi atau keimanan perlu diarahkan kepada bentuk-bentuk yang lebih spesifik, operasional, dan realistis. Sehingga, pemeluk agama dapat mengamalkan indikator-indikator kebaikan secara komprehensif kepada Tuhan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline