Lihat ke Halaman Asli

Kasus AIDS Cermin Karakter Bangsa

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di dalam Pedoman Pelaksanaan Hari AIDS Sedunia tahun 2012, oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI menyebutkan bahwa, “Status epidemi HIV dan AIDS di Indonesia sudah dinyatakan pada tingkat concentrated epidemic level oleh karena angka prevalensi kasus HIV dan AIDS di kalangan sub populasi tertentu di atas 5%. Hasil Surveilans Terpadu HIV dan Perilaku (STHP) tahun 2009 menunjukan angka estimasi Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA) di kalangan wanita penjaja seks (WPS) langsung 6%, WPS tidak langsung 2%, waria 6%, pelanggan WPS 22%, pasangan pelanggan 7%, lelaki seks lelaki (LSL) 10%, warga binaan 5%, pengguna napza suntik 37%, dan pasangan seks penasun 5%. Jumlah kumulatif kasus AIDS yang dilaporkan di Indonesia meningkat tajam dari 7.195 di tahun 2006 menjadi 76.879 di tahun 2011”.

Ironis memang, AIDS yang ditularkan melalui perilaku-perilaku negatif telah menjadi kasus yang tidak kecil lagi. Artinya, perilaku-perilaku negatif yang dilakukan oleh masyarakat seperti menjadi budaya. Perilaku negatif yang apabila dilakukan seharusnya akan menimbulkan rasa malu dan sungkan, namun karena telah menjadi budaya, tiap orang akan menganggapnya biasa-biasa saja.

Keberadaan WPS seperti terdapat perlindungan dengan adanya lokalisasi. Tentu, ini menjadi kesempatan bagi HIV untuk semakin menjamur di Indonesia. Lantas, masih banyak juga pelanggan-pelanggan yang masih saja menggunakan jasa para WPS.

Kemudian, perilaku-perilaku anak-anak muda kita yang akibat dari pergaulan yang tidak baik yang menjadikan budaya barat sebagai “kiblat” nya akan memperburuk kasus AIDS ini. Adanya seks bebas, dan penggunaaan napza suntik juga menjadi jalan lancar HIV untuk menjelajah di Indonesia. Akibatnya, semakin besarlah kasus-kasus AIDS yang terjadi di Indonesia.

Jadi, dengan membicarakan kasus-kasus AIDS di Indonesia, sebenarnya secara tidak langsung juga membicarakan karakter dari masyarakat Indonesia. Mungkin salah satu dampak dari globalisasi, bahwa kita bisa melihat dunia luar dengan mudah. Tak terkecuali dunia barat yang sangat “bebas”. Kemudian masyarakat-masyarakat Indonesia dengan mudahnya meniru perilaku-perilaku bebas mereka tanpa melihat ideologi bangsa Indonesia terlebih dahulu.

Menurut hemat saya, jika kedepannya kasus AIDS ingin dikurangi maka yang harus dilakukan ialah mengurangi perilaku-perilaku negatif masyarakat yang dapat meningkatkan pertumbuhan HIV di Indonesia atau membentuk karakter masyarakat. Janganlah terpaku oleh penanganan orang-orang yang terlanjur terjangkit AIDS. Maka, sebagai langkah pencegahan, haruslah memikirkan cara bagaimana orang-orang yang belum terkena wabah mematikan ini agar jangan sampai terkena.

Jadi, mau tidak mau juga harus melibatkan kesadaran diri dari masing-masing individu. Mungkin dengan adanya pengarahan-pengarahan tentang AIDS sejak dini, dapat menimbulkan kesadaran diri. Ini dapat dilakukan salah satunya dengan adanya sosialisasi ke sekolah-sekolah.

Lalu, penggunaan napza suntik yang juga berperan dalam penularan HIV juga mengungkap bahwa mudahnya mendapatkan barang haram tersebut di negeri ini. Maka, yang bisa dilakukan adalah dengan mengawasi dan meminimalisir peredaran napza (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya). Tentu ini membutuhkan peran serta dari masyarakat dan juga penegak hukum (kepolisian, bea cukai ,dll).

Kemudian keberadaan wanita penjaja seks (WPS) yang menjadi faktor utama dalam penyebaran HIV di Indonesia,mau tidak mau haruslah dikurangi sedikit demi sedikit. Harapannya, kelak tak ada lagi WPS di Indonesia. Sulit memang, mengingat prostitusi anak yang kian gencar dilakukan. Maka, salah satu tindakan yang bisa dilakukan adalah dengan adanya peran serta orang tua berupa perhatian sekaligus pengarahan kepada putra-putri mereka.

Usaha yang lain adalah dengan memperhatikan kehidupan anak-anak jalanan, yang dalam hal ini menjadi kewajiban pemerintah menurut Pasal 34 ayat 1 dalam Undang-Undang Dasar yang berbunyi : “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Karena kehidupan di jalanan sangatlah keras, jika tidak ada yang peduli pada mereka, perilaku-perilaku negatif sangat mungkin mereka lakukan, seperti : penggunaan napza, seks bebas, bahkan calon WPS bagi anak-anak jalanan perempuan.

Jadi, sebagai negara yang menginginkan warga negaranya terbebas dari HIV dan AIDS yang harus dilakukan adalah dengan membenahi dan membentuk karakter dari tiap-tiap warga negara. Jika tiap warga negara menyadari akan pentingnya masalah HIV dan AIDS ini, maka dengan sendirinya akan meninggalkan perilaku-perilaku negatif yang mengakibatkan penularan HIV di Indonesia. Dengan begitu, harapannya kelak Indonesia akan terbebas dari HIV dan AIDS karena tiap warga negaranya telah berkarakter baik. Amiiiin.

*) Imam Naufi Almudzofar

Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan, UNY

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline