Sembari menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang sengketa hasil pemilu, saya iseng membuka website Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Situs yang dominan warna merah, warna khas PDI Perjuangan, memuat banyak sekali informasi terkait partai yang dipimpin putri Presiden Soekarno, Megawati, itu. Mulai dari pidato politik Ketua Umum, AD/ART, program partai, dan para calon legislatif dari partai berjuluk partai wong cilik tersebut.
Setelah berselancar sebentar, membuka beberapa kanal informasi, secara tidak sengaja saya mengklik laman Pengurus DPP di menu Partai. Laman tersebut memuat informasi pengurus teras partai, mulai dari ketua umum, sekretaris jenderal, bendahara, dan bidang-bidang.
Hampir semua pengurus teras tersebut memiliki foto profil di atas jabatan yang mereka emban, kecuali Hasto Kristiyanto. Pada kolom jabatan Sekretaris Jenderal hanya terdapat nama Hasto Kristianto tanpa foto profil yang bersangkutan. Saya tidak tahu ini disengaja atau hanya keteledoran admin situs.
Apapun alasannya, penafian foto sosok orang nomor dua di dalam partai merupakan sesuatu yang tidak patut. Soalnya, jabatan Sekretaris Jenderal itu sangatlah vital. Tanda tangannya bersama sang Ketua Umum bisa meloloskan atau membatalkan pencalonan seseorang sebagai calon presiden atau calon legislatif. Meniadakan foto sosok penting tersebut tentu saja cukup fatal, tidak dapat diterima oleh alasan apapun.
Kita tidak tahu pasti mengapa tidak ada foto Hasto di jajaran Pengurus DPP, seperti pejabat teras partai lainnya. Apakah ini semacam tanda bahwa posisinya bakal segera diganti dengan sosok lain seusai MK membacakan keputusannya. Soalnya, Hasto termasuk orang yang belakangan paling kencang mengkritik Presiden Joko Widodo, yang notabene masih tercatat sebagai kader partai.
Jika rajin membaca media, baik cetak maupun online, kita pasti sering membaca pernyataan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, mengkritik presiden Joko Widodo dan keluarganya, sesuatu yang dulu tidak pernah kita temui. Tidak hanya mengkritik, Hasto juga membuka 'kebobrokan' keluarga politik asal Solo tersebut. Padahal, sebelum tahapan Pemilu 2024, kita hampir tidak menemukan berita Hasto menyerang Presiden Jokowi dan keluarganya.
Namun, semua itu berubah setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan klausa yang membolehkan calon berusia di bawah 40 tahun yang sedang menjadi kepala daerah, dapat diajukan dan mencalonkan diri sebagai calon Presiden maupun Wakil Presiden. Keputusan MK tersebut membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan, sebagai calon presiden.
Sejak keputusan tersebut keluar, Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto cukup sering mengkritik Mantan Gubernur DKI Jakarta, itu. Misalnya, Hasto menyebut pernah melobi ibu Megawati Soekarnoputri agar mendukung perpanjangan masa jabatan presiden, dari dua periode menjadi tiga periode. Hasto juga menyinggung soal pembangunan di era Jokowi yang banyak berutang. Bahkan Hasto mempersoalkan kembali dukungan PDI Perjuangan kepada Gibran untuk maju sebagai calon walikota Solo dan Bobby sebagai walikota Medan.
Publik cukup sering melihat Hasto berbicara ke media dengan berapi-api, kadang-kadang disertai tangisan, saat menyerang Jokowi. Padahal, sebelum gelaran Pilpres 2024, kita tidak pernah mendengar 'keburukan' Jokowi dari mulut Hasto Kristiyanto. Semua berubah, setelah Jokowi dianggap tidak mendukung pencalonan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden.
Jika Jokowi, misalnya, mendukung Ganjar yang pernah ditolak sejumlah elit PDI Perjuangan, dan Gibran tidak maju sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo, mungkin Hasto masih akan memuji-muji Jokowi setinggi langit.