Lihat ke Halaman Asli

Taufik Al Mubarak

TERVERIFIKASI

Tukang Nongkrong

Bertahan Hidup di Jakarta dengan Menulis

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Saya tak pernah punya impian untuk tinggal dalam waktu lama di kota besar seperti Jakarta. Namun, ketika Pemerintah Pusat memberlakukan status Darurat Militer di Aceh pada 2003-2005, saya pun terpaksa hidup di kota Metropolitan ini. Berkat bantuan teman-teman LSM di Jakarta, saya pun dievakuasi ke Jakarta, karena aktivitas saya di Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA)—salah satu organisasi perlawanan sipil Aceh yang dianggap berbahaya oleh Pemerintah Indonesia, saat itu.

Saya datang ke Jakarta pada Juli 2003 atau 1,5 bulan setelah status Darurat Militer diumumkan. Ini merupakan kedatangan saya yang kedua kali di Ibukota Negara, Jakarta, kota yang terkenal angkuh ini. Sebelumnya, saya ke Jakarta akhir Juli 2002 sebagai salah satu anggota Tim Keprihatinan untuk Aceh (TKUA) untuk menggelar demo mendesak Pemerintah menyelesaikan Aceh melalui dialog. Keangkuhan Jakarta tergambar jelas dari cahaya emas yang menjulang di Tugu Monas. “Jakarta ini keras, bung!” Begitu Tugu Monas mengejek saya saat pertama melihat kilauan emas di malam hari dari jendela kamar hotel di bilangan Senen.

Saya tak punya sesiapa di Jakarta. Sebagai orang ‘pelarian’ saya mencoba melawan keangkuhan Jakarta agar bisa bertahan hidup. Mulai dari berpindah-pindah tempat tinggal hingga berbohong pada ibu kost. Menyebut diri orang Aceh sangatlah berbahaya. Jika sampai ketahuan sama Ketua RT atau Keplor, bisa-bisa diusir atau dilaporkan ke pihak berwajib. Untuk menghindari kecurigaan ibu kost, kadang-kadang saya berlagak layaknya orang kantoran, pagi-pagi sudah berangkat seperti orang Jakarta kebanyakan.

Namun, saya beruntung karena sewaktu di Aceh sering menulis di Koran lokal dan media Kampus. Menulis jadi modal berguna bagi saya bertahan hidup di Jakarta. Meski belum punya pengalaman menulis di koran besar Jakarta, tapi saya terus berusaha mengirim tulisan, meski kiriman saya sering ditolak. Hal itu tak membuat saya patah semangat. Pasalnya, banyak penulis besar juga awalnya pasti ditolak oleh media. Proses ini yang musti dilalui oleh penulis pemula, seperti saya.

Saya kirim tulisan tentang Aceh ke Kompas, Koran Tempo dan Media Indonesia, tapi tak ada yang dimuat. “Tulisan anda belum layak” atau “Kami kesulitan tempat untuk memuat tulisan anda” adalah balasan yang sering saya terima dari redaksi. Saya tetap puas. Karena, saya punya prinsip bahwa tugas kita adalah menulis, dan tugas media memuatnya. Jika pun belum dimuat, itu bukan masalah besar, justru jadi pemompa semangat untuk menulis lebih bagus lagi. Inilah pelajaran terbesar untuk penulis pemula. Minimal, dengan terus menulis, tulisan kita makin bagus dan banyak, dan siapa tahu nanti ada media yang mau memuatnya. Hasilnya, saya bisa menghasilkan 3-5 tulisan setiap minggu!

Sewaktu di Aceh, motivasi saya menulis sama sekali bukan dilandasi semangat mencari uang. Namun, di Jakarta, orientasi saya menulis memang untuk mendapatkan uang. Kita tidak bisa hidup di Jakarta tanpa uang. Biaya kost dan biaya hidup mahal. Kemana-mana kita butuh uang. Saya ingat, harga sewa kost di kawasan Ciputat (tempat tinggal saya waktu itu) Rp350 ribu per bulan.

Keberuntungan saya bermula dari perkenalan dengan seorang teman saat mengikuti suatu diskusi yang digelar Kompas HAM di sebuah hotel di bilangan Sarinah. Saat berpisah, dia menyodorkan sebuah kartu nama, dan meminta saya menulis di website yang dikelolanya. “Ini kesempatan bagus,” gumam saya dalam hati ketika itu. Nama website-nya www.apiindonesia.org, yang kemudian menjadi www.modus.or.id (Saya tak tahu apakah sekarang website itu masih hidup atau tidak).

Saya punya banyak stok tulisan di komputer rumah. Seminggu sekali saya kirim tulisan ke website teman saya itu. Setiap bulan, 1-3 tulisan saya dimuat. Setiap tulisan yang dimuat, saya dibayar dengan voucher pulsa. Satu tulisan dihargai dengan 100 ribu pulsa Hp. Ini lumayan, karena saya tak perlu lagi membeli pulsa. Saya selalu menulis ketika pulsa di Hp berkurang. Jika ingat pengalaman ini, saya suka senyum-senyum sendiri.

Tak hanya itu, kawan-kawan jurnalis Aceh mendirikan website www.acehkita.com. Website ini didedikasikan untuk menampung suara-suara korban konflik Aceh yang minim diberikan ruang di media mainstream yang lebih suka mengutip pernyataan Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD). Saya juga sesekali mengirim tulisan di sana. Setiap bulan ada 2-3 tulisan saya yang dimuat. Untuk satu tulisan, saya dibayar Rp200 ribu. Jadi, setiap bulan saya menerima honor Rp600 ribu.

Saya makin bersemangat menulis. Rasa percaya diri saya meningkat. Saya pun mencoba mengirim tulisan ke koran cetak seperti Kompas, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, dan sesekali ke Koran Tempo. Hasilnya, lebih banyak yang ditolak. Tapi, perasaan saya mulai lega ketika Sinar Harapan memuat tulisan pertama saya “Penyelesaian Konflik Aceh Pascapemilu” pada awal April 2004. Saya pun lebih fokus mengirim ke Sinar Harapan karena peluang dimuat lebih besar. Setiap tulisan yang dimuat, kita dihargai Rp350 ribu. Ada beberapa tulisan saya yang dimuat di Koran ini.

Uang dari menulis tersebut minimal cukup untuk menambal kebutuhan saya selama di Jakarta. Karena selain menulis saya juga bekerja sebagai tenaga kontrak di Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) untuk mengelola bulletin Satuvisi serta Sekretaris Program “Research and Campagn for Legal Reform”. Dari mengelola bulletin saya dibayar Rp500 ribu, dan dari kerja sebagai Sekretaris saya dibayar Rp600 ribu. Selain itu, saya juga sering diminta membuat teks pidato dan menulis artikel tapi atas nama orang lain (seperti ghost writer). Saya juga mendapat bayaran.

Kalau dihitung-hitung, memang uang itu kecil sekali. Tapi, bagi orang ‘pelarian’ seperti saya, uang itu cukup untuk mempertahankan hidup di Jakarta, kota yang terkenal dengan keangkuhan Tugu Monas-nya. Pengalaman ini saya jalani selama 2,5 tahun (Agustus 2003-Agustus 2005) hidup di Jakarta. Saya pun tak merasa rendah lagi, ketika memandang kemilaunya cahaya emas di puncak tugu Monas. “Ah, kau cuma berdiri mematung! Tak membuat perubahan apapun dengan diam di tempat.” Ejek saya setiap melewati kawasan Monas.

Sebulan pasca-penandatangan MoU Helsinki, saya pulang ke Aceh, dan kembali kerja serabutan dengan tetap fokus menulis. Pengalaman menulis selama di Jakarta cukup berguna untuk menunjang karir saya selanjutnya. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline