Kita tahu bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia sudah mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi UU KUHP pada tanggal 6 Desember 2022. UU KUHP ini akan menggantikan KUHP Hindia Belanda yang sudah digunakan selama kurang lebih 104 tahun.
Walaupun demikian, penolakan terhadap UU ini terus berlanjut dan bahkan sebetulnya sudah terjadi sejak RUU ini dipublikasikan di tahun 2019. Demonstrasi menolak RKUHP sudah terjadi di pelbagai daerah. Aliansi mahasiswa hingga masyarakat sipil kompak turun ke jalan.
Penolakan ini bukan tanpa alasan. Dalam RKUHP, ada sejumlah pasal baru yang dianggap masih bermasalah. Misalnya, Pasal Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden atau Wakil Presiden, Penghinaan terhadap Pemerintah dan Lembaga Negara, Demo Tanpa Izin, hingga Larangan Penyebaran Paham Bertentangan dengan Pancasila.
Dalam artikel kecil ini, penulis tidak akan mendiskusikan Pros Kons substansi pasal-pasal tersebut. Biarkan saja itu para ahli hukum pidana dan ahli bidang-bidang lainnya yang terkait yang melakukannya. Penulis hanya akan menulis kriteria terbentuknya UU yang baik dalam proses pembentukannya. Kita mulai dulu dengan kriteri UU yang baik dan ideal (efficient and sustainable).
Menurut Ahmad Supardji (2019), ada tiga kriteria suatu UU itu dapat dikatakan baik dan ideal. Ketiga kriteria itu adalah: (i) predictability; (ii) akomodatif dan aspiratif, dan (iii) fairness (keadilan). Penjelasan singkatnya adalah sebagai berikut.
Pertama, UU harus predictability, yaitu dapat mengatasi masalah sekarang dan akan datang. Masalah mendesak apa yang dihadapi sekarang dan berpotensi muncul kembali di waktu mendatang perlu diidentifikasi dan dianalisis dengan baik.
Kedua, UU harus bisa menciptakan stability atau keseimbangan berbagai kepentingan yang berbeda dari berbagai pihak. Dengan kata lain, UU perlu akomodatif dan aspiratif sehingga kepentingan berbagai pihak bisa ditampung secara optimal. Pihak-pihak termaksud mencakup ruling parties (pemerintah dan DPR yang sedang berkuasa), masyarakat sipil, dan pemilik modal.
Ketiga, UU wajib mengandung unsur keadilan atau fairness. Unsur ini diperlukan karena hakekat hukum dan UU adalah keadilan. Adil bagi ruling parties, adil bagi masyarakat sipil, dan adil bagi pemilik modal atau konglomerat. And Justice for all, jargon universal yang sangat popular.
Kita tidak bisa membiarkan terjadinya pembentukan UU hanya pada law makers saja, yaitu, pemerintah dan DPR (rezim yang sedang berkuasa). Jika ini terjadi, dan ini sejauh ini yang terjadi, maka unsur fairness dan stability akan terabaikan sehingga gelombong penolakan sudah terjadi sejak RUU dipublikasikan hingga UU disahkan. Untuk itu, Prof Riant Nugroho mengatakan perlunya diterapkan prinsip Policy Communication dalam proses pembentukan UU. Maksudnya, para law makers, perlu membuka pintunya kepada publik untuk mencapai terbentuknya UU yang baik. Perlu diadakan policy communication sehingga terjadi rangkaian tesa anti tesa yang baik yang mengahsilkan sintesa UU yang baik dan ideal. Singkatnya perlu hadirnya checks and balances dalam proses formil pembentukan UU.
Mekanisme dan sistem checks and balances ini dalam sistem pembentukan UU Indonesia disebut sebagai tahapan uji publik proses formil pembentukan UU. Sayangnya, proses uji publik ini sudah dilemahkan secara dini dengan narasi Partisipasi Masyakarat pada UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Disini tidak begitu jelas sampai seberapa jauh peran dari partisipasi masyarakat dalam pembentukan UU. Lebih kabur lagi bisnis proses penyaringan aspirasi masyarakat termaksud.