Kata kedaulatan jarang dipakai dalam kehidupan sehari-sehari. Misal, jarang, jika ada, orang berkata saya sekarang berdaulat, atau, bertanya apakah Anda berdaulat. Lebih sering kita mendengar, rumah sendiri atau ngontrak, atau, tinggal dengan mertua atau misah.
Kedaulatan biasanya lebih banyak diasosiasikan dengan negara dan rakyat. Negara yang berdaulat, misalnya, adalah negara yang punya pemerintahan sendiri dan tidak tergantung dengan negara lain. Sedangkan kedaulatan rakyat hanya ada di negara demokrasi. Disini, rakyat memiliki otoritas tertingi yang diwujudkan, antara lain dalam kegiatan demokrasi pemilihan umum, yang juga mencakup pemilihan kepala daerah.
Namun, dalam arena pemilihan umum, kita sering mendengar kedaulatan oligarki. Kedaulatan yang hanya dimiliki oleh beberapa gelintir orang yang sangat kaya, yang menggunakan kekayaan mereka untuk kepentingan politik guna mengamankan kekayaan mereka. Mereka menentukan siapa saja yang dapat dijadikan calon legislator dan CEO, kepala pemerintahan, mulai dari bupati/walikota hingga presiden. Rakyat, de facto, tidak memiliki kedaulatan dalam kondisi seperti ini walaupun, de jure, konstitusi menjamin hak warga negara untuk memilih/dipilih (right to vote dan right to candidate).
Dalam arena Pilkada, ada yang lain lagi yaitu kedaulatan cukong. Cukong membiayai calon kepala daerah. Cukong tidak lain adalah oligarki pada jenjang pemerintahan daerah.
Terkait cukong yang membiayai kepala daerah ini, langsung to do point aja ya. Kita mulai dengan sosok yang dulunya sangat populer, tetapi sekarang banyak mendapat sorotan dan kritikan sejak menjabat sebagai Menko Polhukam Kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin, ya siapa lagi jika bukan Prof. Mahfud MD. Beliau mengungkapkan kegalauanya menyongsong Pilkada serentak 2024. Beliau terkesan hanya bisa berdo'a agar praktik percukongan dalam penyelenggaraan Pilkada segera dapat diakhiri. Terkesan juga, Beliau menghimbau pihak-pihak yang terkait untuk berupaya melepaskan arena Pilkada dari jebakan cukong.
Seperti dilansir oleh CCNI, 11 Sept 2022, 17.03 WIB, Prof Mahfud mengatakan bahwa 92 persen calon kepala daerah dibiayai oleh cukong. Lanjut, Beliau mengatakan bahwa para cukong itu akan mendapat imbal balik berupa kebijakan yang menguntungkan mereka. Sepakat, kita semua sepakat, penulis yakin bahwa para cukong dan kepala daerah serta kroni-kroninya untung. Rakyat, kita semua, yang tidak berdaya, buntung.
Misalnya, rakyat buntung karena dengan anggaran yang ada tidak memungkinkan membangun ruang-ruang terbuka hijau untuk kegiatan anak-anak dan keluarga, yang mencukupi, dan tidak memungkinkan untuk menglelola sampah dan lingkungan hidup dengan baik . Atau, yang lebih parah lagi, rakyat buntung karena karena sumber nafkah mereka terganggu, dan, keselamatan dan kesehatan terancam, serta pelayanan pendidikan yang tidak berkualitas. Ada lagi, yang tak kalah pentingnya. Jumlah pengangguran, orang menerima upah yang rendah, dan orang miskin terus bertambah.
Dan, Prof Mahfud MD tidak bisa apa-apa walaupun menduduki jabatan penting sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Ham. Beliau lunglai menyampaikan keresahanya termaksud. Pesanya itu disampaikan secara terbuka, ditujukan ke berbagai pihak yang terkait, dan tentunya, juga termasuk ke Presiden, Kepolisian, Mendagri, Menkumham, MK, KPU/Bawaslu, DPR, dan KPK. Kegalauan Beliau juga sebetulnya juga diarahkan kepada kita semua. Sebab suara kita semua, secara bersama, sebetulnya lebih ampuh dari suara-suara mereka itu.
Suara apa yang perlu kita kumandangkan untuk membantu Prof Mahfud MD itu? Sebetul banyak. Tapi kita mulai dari beberapa yang paling strategis saja dulu.
Pertama, praktik percukongan dalam pilkada ini bersumber dari dua faktor utama. Pertama, porsi pemilih cerdas sangat kecil dibandingkan dengan porsi pemilih norak yang menurut beberapa sumber angkanya sekitar 92 persen. Pemilih norak ini sangat sulit untuk dijangkau dengan komunikasi tidak langsung seperti tv, youtube, internet, dan lain sebagainya sehingga calon kepala daerah sangat sulit untuk berkomunikasi dengan mereka.