Lihat ke Halaman Asli

Kang Mizan

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Perlukah Jokowi Mengikuti Jejak Ekonomi Trump?

Diperbarui: 13 Agustus 2019   18:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Sosok fenomenal Trump dengan narasi  American First terus menuai kontroversi. Narasi tersebut antara lain diwujudkan dengan pembatasan imigran Muslims, membangun tembok Meksiko, dan yang terus viral adalah perang dagang dengan Tiongkok. Trump menaikan tarif impor yang gila-gilaan atas produk Tiongkok yang sebelumnya tidak pernah diterapkan negara KFC ini Pasca PD II. 

Trump cuekin pandangan berbagai profesor ekonomi termasuk pandangan profesor-profesor dari UCLA Berkley, Chicago, dan Boston University yang sangat kontra dengan kebijakan hambatan impor untuk perlindungan industri dalam negeri. Trump juga cuekin aturan pengenaan tarif WTO demi prinsip American First tersebut.

Lebih menarik lagi, Trump tidak mendelegasikan kebijakan ini kepada kementerian/lembaga negara yang terkait. Trump saling memimpin kebijakan ini sehingga tidak menimbulkan polemik antar kementerian dan lembaga negara yang terkait dan mereka itu tinggal melakukan penyesuaian saja. Trump juga sangat getol mengkampanyekan tarif bea masuk tinggi atas produk impor asal negara tirai bambu, Tiongkok.

Jika Trump terlibat langsung dengan kebijakan impor negara Paman Sam ini, maka itu berbeda dengan Jokowi. Sejauh ini Jokowi lebih banyak berdiam diri dan menyerahkan urusan impor terutama impor pangan ke kementerian dan lembaga negara yang terkait. Misalnya, Bulog, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Perdagangan paling banyak bersuara atas kebijakan dan/atau kisruh serta polemik impor pangan Indonesia. 

Terkini adalah polemik impor daging ayam Brasil. Menurut Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita kran impor daging ayam asal Brasil wajib dibuka sebagai wujud kepatuhan Indonesia pada WTO. Kutipan penuh pernyataan Beliau yang dirilis oleh FinanceDetik, klik di sini, adalah :

"Intinya impor ke sini, itu harus ada karena tidak mungkin kita menyatakan tidak bisa, kalau kita melarang, melanggar ketetapan WTO, ya kita pasti salah." 

lihat juga: Jerat WTO pada Industri Unggas - Kolom Tempo.co

Sebagai ekonom penulis setuju dengan keputusan Lukita untuk membuka kran impor daging ayam dari Brasil. Penulis juga sepakat bahwa impor itu wajib halal yang mencakup adanya sertifikat halal. Namun itu perlu ditambah dengan kebijakan perlindungan industri unggas dalam negeri utamanya UMKM. Kebijakan perlindungan itu paling ideal jika diterapkan dengan skim tarif impor yang tinggi seperti yang dilakukan oleh Trump untuk produk Tiongkok.

Rekomendasi penulis ini konsisten dengan inisiatip Pak Enggar untuk melawan kebijakan Uni Eropa yang akan mengenakan bea masuk 8-18% atas impor biodiesel Indonesia. Disini Menperdag Enggar, yang juga politisi Partai Nasdem, berencana mengenakan tarif bea masuk retaliasi 20-25% terhadap impor produk olahan susu dari Eropa. 

Penulis sangat menolak kebijakan perlindungan industri dalam negeri termasuk industri unggas dengan menggunakan skim kuota impor seperti yang berlaku sejauh ini. Skim kuota impor itu tidak transparans, merugikan keuangan negara, merugikan konsumen dalam negeri, menciptakan polemik yang berkepanjangan, serta membuka peluang korupsi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline