Lihat ke Halaman Asli

Kang Mizan

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Garuda dan Krakatau Steel, Baiknya Diapakan Ya?

Diperbarui: 24 Juli 2019   22:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Krakatau Steel heboh lagi. Gelombang korupsi, rugi, dan PHK menerpa BUMN yang bermarkas di Cilegon Jawa Barat ini.

Kisruh Garuda sedikit hilang di mata netizen. Namun, isu-isu yang menerpa burung besi ini, yang kurang lebih sama dengan KS,  tetap tidak gampang dihilangkan begitu saja. Jumlah karyawan yang terlalu besar, korupsi, dan terus rugi.

Apa implikasinya jika perusahaan seperti kasus kedua BUMN diatas terus merugi?

Modal perusahaan, yang sebagian besar milik negara, akan terus tergerus dan jika kondisi ini terus berlanjut akan menjadi negatif; utang lebih besar dari modal. Perusahaan sudah tidak berharga lagi. 

Modal (ekuitas) negatif dan perusahaan tidak berharga lagi pernah menimpa Garuda Indonesia di tahun 2000an. Pemerintah ketika itu, menurut dugaan penulis, kembali menyuntikan dana segar dalam jumlah triliunan rupiah.

Beberapa BUMN yang pernah dan/atau masih berada dalam posisi ekuitas negatif tersebut adalah Merpati Nusantara Airways, PT Kerces Leces, PT Dirgantara Indonesia, dan PT Industri Kereta Api Indonesia (INKA).

Ulfa (2017), Yogyakarta: Deepublish, klik disini, menyatakan:

Dalam periode 2008 -- 2014, misalnya, terdapat 33 BUMN yang menderita rugi dalam tiga tahun pembukuan atau lebih. Dari 33 BUMN, terdapat 11 BUMN yang satu kali diselamatkan oleh pemerintah dengan suntikan dana segar PMN. Yang dua kali diselamatkan dengan dana PMN ada 7 BUMN, tiga kali 10 BUMN, 5 kali 2 BUMN, dan enam, sepuluh, serta lima belas kali masing-masing ada 1 BUMN. Selain itu, di tahun 2008 terdapat 18 BUMN dengan nilai keseluruhan ekuitas negatif nya sebesar Rp7,04 triliun dan di tahun 2014 itu terjadi di 19 BUMN dengan nilai keseluruhan Rp16.08 triliun

Dalam nuansa yang sama tetapi perspektif berbeda ini juga disuarakan oleh Kyunghoon Kim (2016) dalam artikel di The jakarta Post dengan judul  Who is responsible for state-owned enterprises' debts? Penulis ini antara lain mengatakan: 

.....when SOEs face financial difficulties, governments often take responsibility by bailing them out or acting as a lender of last resort. In other words, there are soft budget constraints ....

.....it is difficult to imagine that the government will turn a blind eye if the SOEs carrying out social-oriented activities or the nation's long-cherished infrastructure projects face financial troubles.

Dengan kata lain, Doktor Ekonomi dari negara Ginseng ini, Doktor Kim mengatakan bahwa pemerintah Indonesia  sulit untuk tidak melakukan penyelamatan bilamana BUMN terancam bangkrut. 

Sekarang bagaimana dengan kasus terkini dari Garuda Indonesia dan/atau Krakatau Steel tersebut? Menurut penulis ada beberapa opsi yang dapat diambil oleh pemerintah dan/atau Menteri BUMN.

lihat juga:  Garuda Indonesia, dari Abeng hingga Soemarno

https://www.kompasiana.com/almizan59323/5d2f0f740d823058cb111152/garuda

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline