Barusan di WAG Asosiasi Peneliti Indonesia (HImpenindo) ada kolega posting berita Impor Minyak Goreng. Judul berita memang menggelitik "RI Dibanjiri Impor Minyak Goreng dari Malaysia hingga Thailand." Klik link itu, DetikFinance, ditulis Indonesia impor 28,5 juta ton minyak goreng dalam bulan Mei 2019.
Itu angka yang besar Choi. Jika kita bulatkan menjadi 30 juta ton berarti volume impor itu sama dengan 30 miliar kg! Asumsikan rerata konsumsi per KK per bulan 3 kg, maka volume itu cukup untuk 10 miliar KK! Absurd!
Adalah wajar jika Menko Perekonomian, Darmin Nasution juga terkejut dan tidak percaya. Beliau tidak percaya angka itu karena menurutnya harga minyak goreng di Indonesia lebih murah dari harga minyak goreng di negara lain.
Hal yang serupa juga dikemukakan oleh Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan. Kutipan penuh pernyataan Beliau yang disampaikan oleh DetikFinance, adalah sebagai berikut:
"Saya nggak yakin, mungkin bisa saja masuk melalui Malaysia yang memang tidak diproduksi di Indonesia, contohnya olive oil atau canola oil tapi saya yakin tidak signifikan. Karena kalau data BPS bisa saja produk tersebut tergantung dalam HS yang sama."
Coba kita cek dulu angka 28,5 juta ton itu. Menurut laporan DetikFinance ini:
"Data BPS juga menyebutkan, untuk periode dari Januari-Mei 2019, total impor minyak goreng sebanyak 61,86 juta ton..."
Kelihatannya angka 28,5 juta ton itu betul. Jadi, pertanyaannya sekarang adalah koq impor minyak goreng pada hal Indonesia raja dunia produsen minyak goreng? Harga minyak goreng Indonesia termurah di dunia menurut Pak Darmin Nasution!
Dugaan penulis minyak goreng itu sebetulnya berasal dari Indonesia. Ekspor dulu kemudian diimpor. Aneh bin ajaib kan? Tidak itu hanya akrobat dari para pengusaha yang kreatif.
Dugaan penulis, ini terkait dengan berbagai kebijakan kemudahan impor dan insentif ekspor. Barang-barang impor yang digunakan dan/atau terkait untuk produk ekspor diberikan berbagai fasilitas kemudahan impor termasuk bebas pajak dan bea masuk impor. Kewajiban mereka adalah mengekspor produk mereka dengan kuantitas dan nilai tertentu.
JIka kewajiban itu tidak terpenuhi mereka wajib membayar semua fasilitas kemudahan ekspor termasuk pajak dan bea masuk yang sudah dibebaskan tersebut. Dalam kasus ini kemungkinan target ekspor mereka tidak terpenuhi dan/atau memang sejak awal mereka sudah merencanakan Plan B skenario akrobat reimpor ini. Jika memang demikian halnya, mereka melakukan reimpor minyak goreng mereka sendiri yang sebelumnya sudah diekspor untuk menghindari kewajiban membayar pajak dan bea masuk impor yang sudah mereka terima terlebih dahulu.
Penulis sudah mendengar permainan akrobat ekspor reimpor ini beberapa tahun yang lalu. Kini karena sudah pensiun dari ASN agak berani sedikit bersuara. Lebih jauh, mungkin masih ada yang ingat dengan kasus ekspor fiktif dalam rezim Sertifikat Ekspor (SE). Para pengusaha yang berhasil mengeduk berbagai fasilitas SE kemudian hanya mengekspor barang-barang bekas termasuk pakaian dalam bekas.