Umumnya kita mengetahui bahwa Pemilu serentak 2019 yang baru lalu terdiri dari dua jenis utama Pemilu: Pilpres dan Pileg. Luar biasa kehadiran pemilih pada tanggal 17 April itu. Kehadiran yang tertinggi bukan saja di Era Reformasi tetapi juga mencakup Era Orde Baru. Tingkat kehadiran yang sekitar 80 persen itu hanya sedikit lebih rendah dari tingkat kehadiran Pemilu 1955.
Tingginya partisipasi pencoblosan surat suara tersebut juga menggerek yang dicoblos untuk pemilihan legislatif (Pileg). Jika dalam Pileg-pileg Era Reformarsi terdahulu jumlah surat suara yang dicoblos berkisar dari 65 hingga 70 persen, maka seperti sudah disebut diatas, pada Pileg yang bersamaan dengan Pilpres sekarang surat suara Pileg yang dicoblos sekitar 80 persen. Ini sangat tinggi dan sekaligus merupakan anomali atau hal yang janggal atau tidak biasa. Kenapa itu anomali?
Begini, kita memilih sesuatu itu karena kita suka. Bisa juga kita memilih sesuatu karena kita mengharapkan ada perbaikan atau hal yang buruk selama ini dapat dikurangi.
Apakah keputusan pemilih untuk datang ke kotak suara pada tanggal 17 April itu memang demikian? Apakah mereka yang mencoblos surat suara Parpol dan/atau Caleg memang melakukan itu karena berharap anggota DPR/Parpol dan/atau anggota DPD diharapkan dapat menghasilkan perubahan untuk Indonesia yang lebih baik dan/atau untuk Indonesia yang tidak begitu buruk lagi?
Pemilih mengharapkan praktik dagang sapi dalam demokrasi kita dapat dikurangi? Pemilih mengharapkan pemborosan anggaran negara dan anggaran BUMN dapat ditekan menjadi lebih rendah? Pemilih mengharapkan kegiatan pemberantasan korupsi dapat lebih ditingkatkan? untuk kesempatan kerja yang lebih banyak? untuk Indonesia yang lebih maju? dan seterusnya dan seterusnya.
Penulis rasa umumnya tidak demikian. Fenomena anomali yang demikian patut diduga karena hal-hal sebagai berikut. Pertama, efek kadung. Kadung dah datang untuk Pilpres sekalian dah Coblos Pileg. Caleg siapa saja atau partai mana saja yang dicoblos tidak begitu penting, kadung dah di TPS. Hitung-hitung sebagai amal jariyah untuk yang kebagian. Golput juga untuk apa. Kira-kira begitu mindset kelompok ini.
Kedua, dominan nya kampanye langsung oleh para Caleg. Para Caleg dan/atau Timses mereka mendatngi prospek pemilih dari rumah ke rumah. Door to door kata populernya. Ngobrol-ngobrol santai sambil ngeliwet, singkong goreng, kopi, wedang jahe, rokok jelas barang yang wajib dan lain-lain. Di satu sisi, ini lebih terfokus pada kegiatan memupuk dan merekat hubungan yang lebih bersifat pribadi dan kekeluargaan, ini bukan memupuk dan merekat isu-isu kepentingan umum yang mencakup kemajuan daerah dan/atau nasional yang lebih luas.
Di sisi lain, karena jumlah door -to door yang demikian masif dan tersebar luar di seluruh Dapil masing-masing, uang yang harus dikeluarkan untuk wedang jahe, ngeliwet, plus biaya operasional Timses sangat-sangat besar. Tidak masuk akal jika disandingkan dengan penghasilan "halal" para legislator tersebut selama lima tahun masa jabatan nya. Biaya kampanye yang dapat mencapai 40 miliar atau bahkan lebih apa bisa ditutupi dengan penghasilan masing-masing anggota dewan tersebut?
Ketiga, cukup kuatnya politik identitas. Ini mencakup perilaku yang memilih Caleg dan/atau Parpol tertentu karena faktor agama dan/atau madzhab agama. Prinsip mereka adalah yang penting seiman dan sealiran. Termasuk dalam kategori ini adalah pendukung militan suatu Parpol tertentu.
Keempat, adanya pemahaman untuk memperkuat rezim pemerintahan terpilih. Misalnya, saya coblos Caleg A dan/atau Parpol A karena mereka itu pendukung setia Capres favorit saya. Perilaku pencoblosan kelompok ini lebih dipengaruhi oleh sosok Capres dan/atau narasi-narasi kampanye Capres favorit mereka. Metode kampanye tidak langsung yang hemat biaya lebih penting untuk menjangkau kelompok ini. Praktik jual beli suara dapat dinihilkan untuk menjangkau kelompok ini.