Lihat ke Halaman Asli

Almizan Ulfa

TERVERIFIKASI

Payah, Revolusi Mental Pelayanan Digital Jokowi

Diperbarui: 10 Maret 2018   18:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana pengurusan KTP KK, Akte kelahiran di Dukcapil Kabupaten Bogor. Sesak panas dan tidak beraturan

Frasa revolusi mental Jokowi begitu populer semasa kampanye Pilpres 2014. Antusias publik sangat tinggi dan memaknainya sebagai janji mulia menuju Indinesia sehat, Indonesia pintar, dan Indonesia hebat. Ini patut diduga memberikan kontribusi penting atas kemenangan Jokowi mengalahkan Prabowo dalam Pemilu 2014 tersebut.

Saat ini, di tahun politik 2018 merupakan saat yang tepat untuk menagi kembali janji kampanye tersebut. Saat yang tepat untuk mempertanyakan apakah selama kurun waktu yang hampir empat tahun ini, Jokowi sudah melaksanakan, paling tidak sebagian, janji kampanye tersebut. Untuk itu, cobalah kita pertegas terlebih dahulu makna haqiqi dari revolusi mental itu.

Menurut penulis, revolusi mental itu harus mencakup revolusi mental pejabat tinggi negara setingkat menteri kabinet. Cakupan revolusi mental Beliau-beliau itu adalah terbentuknya a mind setyang revolusioner. 

A mind set untuk mereformasi Tata Kelola Pelayanan Umum yang sejauh ini sarat dengan korupsi, sangat lamban dan sering memerlukan waktu bertahun-tahun. Beliau- beliau termaksud perlu melakukan perubahan revolusioner.

Tata Kelola Pelayanan Umum yang membebani rakyat yang memakan biaya yang besar dan/atau menyebabkan hilangnya peluang ekonomi dan sosial menjadi Tata Kelola Pelayanan Umum yang cepat, murah, dan aman. Dan Beliau-beliau tersebut juga, suka tidak suka harus memiliki kemistri, gairah dan kapasitas untuk merangkul kehadiran tekologi digital yang berkembang sangat pesat dewasa ini.

Dalam beberapa kasus pelayanan umum, jujur harus kita akui bahwa sudah ada perbaikan dan aroma korupsi sudah berkurang drastis. Namun, seiring dengan berkurangnya aroma korupsi dan belum adanya perbaikan tata kelola mendasar yang didukung oleh teknologi digital, pelayanan tersebut masih sangat lamban dan menguras waktu yang lama. Misalnya, pelayanan KTP dan Kartu Keluarga (KK), Akte Kelahiran, Surat Nikah, Sertifikat Tanah, dan Surat Izin Mengendara (SIM) masih sangat ribet dan memakan waktu dari beberapa bulan hingga beberapa tahun. Pelayanan SIM memang memakan waktu kurang dari satu bulan tetapi ujian praktek (ujian lapangan) sangat sulit dan tidak masuk akal sehingga membangkitkan kembali aroma korupsi.

Contoh kasus masih sangat buruknya pelayanan KTP/KK penulis alami sendiri. File JFG bukti permohonan KK dibawah ini tertanggal 5 Februari 2018. Sekarang 10 Maret 2018 dan berarti sudah lebih satu bulan belum selesai. Kantor Kecamatan Bojong Gede tidak tahu pasti kapan KK itu akan selesai. Kata petugas loket "Insayahallah minggu depan." Tetapi, Insyah Allah minggu depan itu sudah tiga kali dan setiap kali datang jawabannya selalu sama.

Bukti peromohonan KK a.n. Almizan Ulfa di Kantor Kecamatan Bojong Gede, Kabupaten Bogor


Kasus yang serupa lihat diskusi penulis pada artikel: Serba-serbi Perpanjang Paspor di Kantor Imigrasi Depok

Beliau-beliau pejabat tinggi negara tersebut perlu digebuk agar melakukan revolusi mental penciptaan digitalisasi palayanan-pelayanan umum dasar seperti tersebut diatas. Secara teknis itu sebetulnya sangat gampang. Tinggal menerbitkan semacam Surat Keputusan dan/atau surat perintah bahwa dokumen-dokumen tersebut cukup diterbitkan oleh institusi atau entitas yang terkait langsung dengan keberadaan dokumen-dokumen tersebut. Kemudian, bisnis proses dari penerbitan dokumen-dokumen itu dapat dibuat dengan mudah oleh jajaran birokrasi dibawahnya.

Untuk kasus KTP, pertama-tama perlu diingat bahwa itu merupakan kartu identitas pemegangnya yang pada prinsipnya menyatakan dimana alamat yang bersangkutan tinggal atau berdomisili. Pihak yang paling tahu alamat si pemegang KTP itu adalah Ketua RT setempat. Dengan demikian, penerbit KTP yang paling tepat cepat serta hemat biaya adalah Ketua RT. Yang perlu dikerjakan adalah koneksasi data digital KTP (NIK dll) ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kabapaten setempat. Kantor-kantor RW, Kepala Desa/Lurah, dan Camat tinggal diberikan akses digital terbatas atas data kependudkan ini.

Dalam beberapa daerah tertentu seperti di Pegunungan Jaya Wijaya, Kepulauan Mentawai Sumatera Barat, pedalaman Kalimantan, memang kantor RT untuk sementara, mungkin, belum mampu untuk melakukan itu. Tapi, kantor kepala desa, atau, minimal kantor Kecamatan, sudah mampu dan tidak perlu dilakukan oleh Disdukcapil Kabupaten.

Hal yang sama untuk kasus Akte Kelahiran. Institusi atau entitas yang paling tahu atas kelahiran seorang bayi adalah RS Bersalin, Puskesmas, dan Klinik Bersalin. Sertifikat Kelahiran atau Akte Kelahiran cukup dibuat oleh institusi atau entitas tersebut. Sekali lagi, mereka hanya tinggal melakukan pengriman data digital ke Disdukcapil Kabupaten/Kota. Tidak perlu lagi tetek bengek surat-surat dan berbagai macam foto copy yang lain mulai dari RT, RW, Lurah/Kepala Desa,hingga ke Camat.

Pengecualian memang perlu ada untuk daerah-daerah terpencil seperti disebutkan diatas. Pengecualian juga berlaku untuk kelahiran di rumah yang hanya dibantu oleh bidan desa. Akte Kelahiran untuk kasus-kasus seperti ini dapat diterbitkan oleh Kantor Desa atau Kantor Kecamatan, dan, mungkin tetap tidak perlu diterbitkan oleh Disdukcapil Kabupaten/Kota.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline