Disclaimer: Opini pribadi dan tentunya tidak harus sama dengan posisi Kementerian Keuangan Indonesia.
Saat ini jarang orang Indonesia yang belum dengar nama Freeport Indonesia. Freeport Indonesia yang menambang tembaga, emas, dan perak di Papua menjadi viral di sosmed dengan meme Papa minta saham beberapa waktu yang lalu. Pemberitaan Freeport kemudian riuh lagi terkait renegosiasi perpanjangan izin operasi dan divestasi 51% sahamnya. Belum terlihat titik terang kisruh negosiasi divestasi 51% saham tersebut yang kini sudah memasuki tahun kedua.
Walaupun demikian, kita dapat memilah dua arus persepsi publik atasnya. Pertama, arus yang beranggapan bahwa divestasi itu terkait dengan rasa kebangsaan dan nasionalisme dan arus yang lainnya lebih mengutamakan rasionalisme (costs benefits).
Kelompok nasionalisme biasanya mengaitkan ini dengan Pasal 33 UUD 1945 dengan frasa SDA Ibu Pertiwi harus dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Ini sering ditafsirkan bahwa SDA harus dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Pendukung rasionalisme beranggapan tidak demikian. Menurut arus ini untuk mencapai tujuan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia dalam pengelolaan SDA tidak harus melibatkan BUMN. Optimalisasi pengelolaan SDA seperti tambang Grasberg Papua untuk kemakmuran Papua dan Indonesia dapat saja tidak melibatkan BUMN. Tidak penting siapa yang mengelolanya; BUMN atau swasta nasional atau bahkan biarkan saja FI, yang rata-rata produksi dan ekspor konsentratnya sekitar 1.0 juta ton per tahun, mengelolanya hingga habis sisa cadangan di tahun 2031 - 2041, sepanjang itu memberikan hasil yang optimal bagi masyarakat Papua pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Adalah Menko Luhut Pandjaitan yang paling sering terdengar menyuarakan 51% saham FI, perusahaan asing yang bermarkas di negara Paman Sam, adalah harga mati. Namun, ada yang mengatakan bahwa sebetulnya Presiden Jokowi lah yang paling terobsesi untuk mem-BUMN-kan FI, yang sudah beroperasi di Papua sejak tahun 1967 itu. Ini dipersepsikan sebagai amunisi besar Pilpres 2019. Political appealsyang tinggi jika Jokowi berhasil mengembalikan FI, yang sejauh ini memberikan kontribusi langsung ke penerimaan negara secara rerata Rp7 triliun per tahun, ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Pendukung arus rasionalisme tidak demikian berpikirnya. Kelompok ini yang sebetulnya adalah pengagum dan pendukung berat Presiden Jokowi menyatakan bahwa beban fiskal itu terlalu tinggi jika harus membayar antara 50 - 100 triliun rupiah untuk pembelian 32 % saham FI, perusahaan yang berindukan Freeport McMoran USA yang sebagian besar jika tidak seluruh ekspor konsentrat tembaga/emas/perak menggunakan pola kontrak jangka panjang. Harga yang dibayar terlalu mahal jika dibandingkan dengan harapan penerimaan dividen ke depan yang hanya dalam kisaran Rp1 triliun per tahun. Harapan penerimaan dividen yang lebih kecil juga bersumber dari proyeksi semakin besarnya kebutuhan investasi tambang bawah tanah serta harga konsentrat tembaga yang masih tetap melandai hingga saat ini (sekitar US$16,000/ton).
Seandainya Pemerintah menugaskan konsorsium empat BUMN pertambangan untuk membeli saham termaksud, maka ini juga berpotensi memberikan tekanan fiskal yang berat. Nilai gabungan keseluruhan aset empat BUMN itu (Inalum, Timah, BA, dan Antam) kurang dari 100 triliun rupiah. Untuk mempu membelinya konsorsium ini perlu menerbitkan utang dan/atau menerima injeksi dana segar PMN dari Pemerintah.
Terkait dengan imbas Pilpres 2019, penulis ada sedikit melakukan jajak pendapat incognito dan terbatas. Penulis ingin menguji sampai seberapa kuat political appeals mem-BUMN-kan FI, yang saat ini menyerap tenaga kerja langsung dan kontraktor sekitar 33.452 orang. Responden yang digunakan ada tiga kelompok: 1. Grup WA Keluarga Peneliti Kementerian Keuangan RI; 2. Grup WA Asosiasi Peneliti Indonesia (Anggota Himpenindo Pusat), dan 3. Para pengguna Face Book. Dua yang pertama merupakan kelompok dengan pola pikir analitis dan memiliki akses informasi yang mencukupi dan yang ketiga terdiri dari pengguna yang sangat heterogeen dalam perspektif usia, pendidikan, pekerjaan, wawasan, dan akses informasi. Pesan yang diposting persis sama untuk ketiga kelompok ini yaitu "Jokowi: FI jadi BUMN itu harga mati."
Penulis tidak menerima komen sama sekali untuk postingan di grup WA Keluarga Peneliti Kementerian Keuangan RI dengan jumlah anggota grup 62 orang. Nihilnya respon juga terjadi untuk postingan di grup WA Himpenindo dengan 127 anggota. Dengan kata lain mereka tidak begitu concern dengan isu nasionalisme Freeport Indonesia. Interpretasi lain, dan ini yang lebih plausible, mereka sebetulnya lebih mengutamakan pertimbangan costs benefits, karena para peneliti lebih mengutamakan rasionalitas dan evidence atas inisiatifmem-BUMN-kan FI, tetapi lebih memilih sebagai silent readerkarena survei ini terkait dengan RIOne.
Respons untuk postingan di FB cukup banyak. Periode 13 - 17 Oktober hingga jam 12.00 mendapat 24 like, 13 komen. Namun, dari 13 komen ini hanya ada satu komen yang secara eksplisit mendukung obsesi Presiden Jokowi. Dalam kata-katanya "Semoga keinginan Presiden Jokowi dan Rakyat Indonesia tercapai, aamin." Dua atau tiga komen yang lain hanya mendukung pendapat ini. Selebihnya mendiskusikan harga yang ditawarkan oleh FI.