Lihat ke Halaman Asli

Almizan Ulfa

TERVERIFIKASI

Ini LimaTantangan Ignatius Jonan dan Arcandra Tahar

Diperbarui: 17 Oktober 2016   17:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penunjukan Ignatius Jonan dan Dr. Arcandra Tahar, masing-masing sebagai Menteri dan Wakil Menteri ESDM menjadi viral sosmed akhir pekan kemarin. Viral ini juga menyebar dengan cepat di kompasiana, dan, semalam ketika browsing indeks berita saya kebetulan melihat tawaran dari redaksi Kompasiana untuk menulis tentang Menteri ESDM yang baru ini. Ini kebetulan sekali karena saya pernah menulis tentang topik Migas ini termasuk harapan pada Menteri Baru ESDM pasca diberhentikannya Dr. Arcandra Tahar dari jabatan Menteri ESDM.

Walaupun demikian, mari sejenak kita lihat dua fakta strategis sektor Migas Indonesia. Pertama, kondisi yang memprihatinkan dari produksi minyak mentah Indonesia yang terus melorot hingga saat ini, dan, kedua, tentang masih banyaknya persepsi keliru tentang peran strategis PT Pertamina.

Untuk melihat peran strategis PT Pertamina di sektor hulu Migas, coba kita lihat grafik diatas yang memperlihatkan distribusi produsen Migas di Indonesia . Terlihat produksi PT Pertamina hanya 18 persen dari produksi total Indonesia. Selebihnya, 82 persen adalah hasil produksi perusahaan asing dan Chevron Pacific Indonesia menguasai 47 persen.

Walaupun demikian, saya kira, Duet Jonan dan Arcandra tidak berniat untuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing tersebut. Kontrak-kontrak yang sudah dibuat terdahulu tidak begitu mudah untuk direvisi apalagi dibatalkan begitu saja. Selain itu, tentu saja mereka menyadari bahwa kegiatan eksplorasi dan eksploitasi Migas membutuhkan dana yang besar dan diperparah lagi dengan tingginya risiko kegagalan menemukan cadangan Migas yang layak dikelola secara ekonomis. Mereka, saya kira, akan lebih fokus untuk mempertimbangkan skim-skim perpajangan kontrak, jika kontrak yang ada sudah berakhir, yang lebih menguntungkan Indonesia. Selain itu itu, mereka juga akan mempertimbangkan skim-skim alternatif untuk kontrak-kontrak kerja sama yang baru.

Menurut analisis banyak pihak, salah satu kelemahan dari kontrak bagi hasil Migas yang ada sekarang adalah tingginya cost recovery, pengganti dari biaya investasi peralatan dan mesin-mesin yang sudah dibeli dan digunakan oleh para kontraktor tersebut, yang perlu dibayar oleh pemerintah ke perusahaan-perusahaan asing tersebut. Dengan nilai cost recovery yang nilainya sekitar Rp170,00 triliun per tahun yang berarti lebih dari separuh penerimaan Sumber Daya Alam (SDA),  Rp 254 triliun untuk APBN tahun 2015, terpaksa dikembalikan lagi ke perusahaan-perusahaan asing tersebut.

Memang mesin-mesin dan peralatan tersebut menjadi milik Indonesia setelah berakhirnya masa kontrak tersebut. Namun, itu baru terlaksana setelah 20 atau 30 tahun kemudian. Mesin dan peralatan tersebut kemungkinan sudah banyak yang menjadi besi rongsokan dan/atau ketinggalan teknologi ketika diserahkan ke Indonesia.

Selain itu, pemerintah masih harus mengeluarkan biaya dan mengorbankan sumber-sumber lain yang langkah untuk menjual bagian pemerintah dari kontrak kerjasama bagi hasil itu. Nilai untuk fee ke PT Pertamina, atau, ke BP/SKK Migas per tahun saja adalah Rp3,5 triliun.

Tantangan berikutnya dari Duet hebat kita ini adalah terus merosotnya produksi minyak mentah Indonesia seperti diperlihatkan oleh grafik dibawah ini. Produksi itu masih di tingkat 1,6 juta barel per hari di tahun 1980an tetapi kini, ditahun 2016, tinggal 800an ribu barel per hari saja. Sudah tinggal separuhnya.

produksi-minyak-indonesia-58049e3eac92736c262e1f09.jpg

Porduksi minyak itu, rasanya, sulit sekali untuk dapat ditingkatkan kembali dalam beberapa tahun ke depan. Dengan demikian, Indonesia masih harus mengimpor minyak sekitar 500 juta barel per tahun dan ini dilakukan oleh organ PT Pertamina yang bernama ISC (Integrated Supply Chain).

Dalam kaitan ini, mungkin kita masih ingat kasus Petral dengan bisnis impor minyak untuk dijual ke PT Pertamina yang berhasil dibubarkan oleh Sudimran Said dan Dwi Soetjipto sekitar Mei 2015 yang lalu. Anak perusahaan PT Pertamina ini diduga korupsi harga dalam kisaran 1 hingga 3 US$ untuk setiap barrel minyak impor yang dijual ke PT Pertamina. Adanya mark up atau korupsi harga itu jelas merugikan negara dan pembeli minyak di Indonesia. Negara ketika itu harus memberikan subsidi yang lebih besar dan rakyat banyak membayar harga yang lebih tinggi dari seharusnya.

Sekarang bisnis impor minyak itu sudah diambil alih oleh ISC (Integrated Supply Chain) dan apakah entitas yang sudah berbahasa English ini akan bebas dari dugaan korupsi itu? Tidak ada yang dapat menjamin itu. Peluang KKN masih terbuka lebar. Ini merupakan tantangan yang harus diselesaikan oleh Duet idola kita ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline