Wah premium habis mas. Pertalite juga habis. Yang tinggal Pertamax. Dan, bukan itu saja, antrean yang mengular juga sudah sangat sering kita temui di banyak SPBU.
Walaupun demikian, mobil dan motor tetap saja antre dengan tertib, yang memperlihatkan bahwa budaya tertib sudah cukup baik di negara kita sekarang ini. Juga, saya belum pernah melihat ada yang membantalkan pembelian. Premium habis, ya beli Pertalite. Pertalite habis ya beli Pertamax. Begitu pemandangan umum yang saya temui sejauh ini di wilayah sekitar Pemda Bogor, Cibinong, Jalan Raya Bogor, pintu Tol Sentul Sirkuit, Jalan Keradenan, Jalan Suka Hati dan sekitar Kecamatan Bojong Gede Bogor.
Masalah yang terbesar adalah antrean yang mengular itu, sebetulnya. Masalah lain adalah, yang juga sering terjadi, semuanya habis. Tertulis maaf bensin habis dan pintu masuk SPBU ditutup!
Kenapa itu terjadi?
Ini terjadi karena sistem kuota dari PT Pertamina. Jika jatah untuk suatu SPBU dalam satu minggu katakanlah 10 ton premium, maka jika itu sudah habis sebelum satu minggu, maka Pertamina tidak akan mengirim pasokan lagi, rasanya. Jadi, bukan didasarkan pada kebutuhan nyata setempat yang dapat berfluktuasi seiring dengan dinamika sosial ekonomi.
Bagaimana dengan harga?
Konsumen jelas menghendaki harga termurah dan kualitas bensin tidak begitu diperhatikan. Apa pernah kita merasakan motor/mobil terasa lebih nyaman dan/atau awet dengan menggunakan bensin yang lebih mahal seperti Pertalite dan pertamax?
Bagaimana dengan SPBU asing?
Ada tiga SPBU asing terbesar sejauh ini, yaitu: Petronas, Shell, dan Total, yang akhir-akhir ini makin ramai didatangi oleh kenderaan bermotor. Keberadaan mereka itu terutama untuk wilayah DKI Jakarta saya kira dapat diterima untuk menghilangkan "ular-ular" antrean di SPBU Pertamina.
Selain itu, SPBU asing itu penting sebagai pembanding takaran dan harga bensin yang dijual di SPBU-SPBU Pertamina. Ini terutama terasa lebih penting ketika Petral, anak perusahaan PT Pertamina, dibubarkan karena dugaan mark up harga bensin premium impor dalam kisaran 1 hingga 3 US$ per barrel. Dengan kata lain, selama puluhan tahun, uang subsidi premium itu lebih banyak dinikmati oleh Petral dibandingkan oleh rakyat banyak. Setelah subsidi dihapus dan impor minyak masih dilakukan oleh Petral, pengendara mobil/motor membayar harga yang lebih mahal untuk setiap liter bensin yang dibelinya.
Setelah Petral dibubarkan dan impor minyak Pertamina diserahkan kepada ISC (Integrated Supply Chain), apakah dugaan mark up itu otomatis hilang? Belum tentu dan belum ada bukti yang shahih tentang itu.