Beberapa hari yang lalu Presiden Jokowi menyosialisasikan TAX Amnesty (TA) secara langsung. Acara yang diselanggarakan di Hotel Berbintang Lima di kota Surabaya ini yang dihadiri oleh 27.000 orang menjadi headlines di berbagai media.
Di satu sisi, kegiatan ini terkesan membangkitkan semangat dan harapan. Namun demikian, di sisi lain kegiatan ini sebetulnya bagian dari unsur-unsur TA yang mencemaskan, jika kita menyimak keberhasilan TA Australia.
Suksesnya TA Australia, yang mencakup melapornya 1.750 orang yang menyembunyikan harta mereka di luar negeri, seperti disajikan pada gambar di atas, menggunakan metode kampanye (sosialisasi) yang berbeda dengan yang kita lakukan. Mereka lebih hemat biaya dan sumber-sumber lain yang langkah karena lebih terfokus pada komunikasi tidak langsung dengan memanfaatkan media elektronik dan cetak. Kita, sebaliknya, selain media elektronik dan cetak juga gencar melaksanakan komunikasi langsung, dengan kick off yang langsung dilakukan oleh Presiden Jokowi di Surabaya tersebut.
Saya dengar sudah disiapkan anggaran yang mencakupi untuk kegiatan sosialisasi TA yang serupa untuk seluruh provinsi. Angarannya jelas dalam hitungan ratusan miliar. Terlebih-lebih jika kampanye ini langsung dilakukan oleh RiOne, yang biaya perjalanan dinas dan pengamanannya saja sudah demikian besar.
Di Australia, yang sudah berhasil menerima dana tebusan pengampunan pajak sebesar A$240 juta (Rp3,12 triliun), hingga awal Desember dan diperkirakan akan meningkat hingga akhir Desember 2014, anggaran kampanye TA mereka itu relatif sangat kecil. Mereka tidak mengeluarkan biaya untuk kampanye langsung dan mereka juga tidak membayar media karena isu TA adalah a Big News dan media sendiri berebut untuk meliput berita ini.
Hal lain yang mencemaskan terkait dengan kerahasian bank. Di Australia, yang diharapkan dapat berhasil mengantongi harta yang disembunyikan di luar negeri sebesar A$50 miliar (Rp650 triliun) hingga berakhirnya masa pengampunan pada tanggal 31 desember 2014, tidak terkendala dengan UU kerahasian bank. Aparat perpajakan (ATO) dapat memeriksa simpanan bank deposan dan dengan demikian mereka lebih fokus pada harta yang disembunyikan di luar negeri, dan mereka menemukan negara-negara yang paling disukai orang Austalia untuk menyembunyikan hartanya.
Swiss menduduki peringkat pertama. Ada 585 WN Australia yang melaporkan hartanya disini. Rangking berikutnya adalah Inggris dengan 299 orang, Israel 231 orang, Singapura, 123 orang, Hong Kong 115 orang, dan Lichtenstein 43 orang. Jumlah ini akan bertambah hingga akhir Desember 2014.
Di Indonesia, DJP tidak dapat menembus UU kerahasian bank. Ini menjadi ironis sebab pemerintah secara mengebu-mengebu mau memburu harta WNI yang disembunyikan di luar negeri sedangkan yang disembunyikan di perbankan dalam negeri saja tidak dapat dicolek.
Selanjutnya, masa pengampunan pajak di Australia sekitar 10 bulan: Februari–Desember 2014. Detik-detik terakhir Desember 2014 itulah yang paling banyak dimanfaatkan oleh wajib pajak di sana untuk melaporkan harta yang mereka sembunyikan di luar negeri.
Di kita hal sebaliknya yang seharusnya berlaku. Skim tebusan tarif uang tebusan yang dirancang memang mendorong agar mereka melapor seawal mungkin yaitu dalam Bulan Juli/Agustus tahun ini juga.
Walaupun demikian, itu semua tergantung pada keyakinan mereka atas kapasitas pemerintah untuk menemukan dan mengeksekusi harta yang disembunyikan itu. Semakin kuat keyakinan mereka atas kapasitas pemerintah itu akan semakin tinggi jumlah wajib pajak yang melapor sebab sanksi bagi yang tidak melapor setelah tanggal 31 Maret 2017 adalah sangat tinggi. Mereka dikenakan tarif PPh normal plus denda 200%. Selain itu mereka juga dapat dikenakan sanksi lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.