Lihat ke Halaman Asli

Iuran Guru-guru Antarkan Yulia Netti Ke Universitas Diponegoro

Diperbarui: 6 Juli 2015   07:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Netti adalah anak ke 3 dari 4 bersaudara, anak sepasang petani yang hidup di  kampung Jorong Merdeka, Kec. Talamau-Talu, Kab. Pasaman Barat,  terletak l.k 300 km sebelah Utara kota Padang. Hidup dibawah standar keluarga sejahtera seakan merupakan resiko bagi Anasrul (52), selaku kepala keluarga yang berprofesi sebagai petani penggarap. Titipan Illahi berupa 4 orang anak perempuan terkadang lebih sebagai beban ketimbang sebuah anugerah. Namun kenyataan hidup yang sedang dialami Anas bersama keluarganya tak lantas menggoyahkan imannya selaku hamba Allah yang taat.

 

Dalam segala kesempitan dan kekurangannya itu, Anas bersama istrinya tercinta Yulidar (48) masih bersyukur bahwa anak-anaknya memiliki kemampuan akademik yang lumayan baik dan mampu bersaing bahkan mengungguli teman-temannya. Ini juga sebuah kenyataan, dan ini meyakinkan Anas bahwa anak-anak yang ia besarkan adalah merupakan anugerah yang dititipkan Allah baginya. Keyakinan itu telah ia jalani dan membuktikan bahwa pada setiap kemauan itu, selalu ada jalan. Sejauh ini, Anas cukup berhasil menanamkan prinsip-prinsip itu pada anak-anaknya.

 

Dua orang kakak Netti telah membuktikannya dengan berhasil melanjutkan pendidikan mereka sampai ke Perguruan Tinggi. Yang paling tua baru saja di wisuda sebagai sarjana akutansi di Univ. Andalas, Padang. Kakak Netti no 2 saat ini sudah menginjak semester VII di Univ. Negeri Padang pada bidang study Ekonomi Pendidikan. Karena prestasinya, kedua kakak-kakak Neti beruntung dapat melanjutkan kuliah dengan masing-masing memperoleh beasiswa. Tak ayal, Netti selaku anak ke-3 pun menggantungkan mimpinya untuk mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi. Dilihat dari profil keluarganya yang jauh dari berkecukupan, menempati rumah tani di area persawahan di kaki bukit, hampir mustahil rasanya bahwa ada anggota keluarganya yang mengecap pendidikan sampai perguruan tinggi, apalagi zaman sekarang ini. Namun tak ada salahnya bagi Netti bermimpi, sebagaimana dulu kakak-kakaknya bermimpi.

 

Satu-satunya usaha yang ia tahu hanyalah berprestasi, dan Netti melakukan itu. Sejak ia duduk di bangku kls II SMA N Talu, Juara Umum sekolah tak pernah luput dari tangannya. Selain itu, Netti juga pernah meraih Juara I Olympiade Akutansi se Kab. Pasaman Barat. Ketika mewakili kabupaten, Netti meraih Juara II Olympiade Akutansi di tingkat Provinsi Sumatera Barat.

 

Prestasi demi prestai yang telah diukirnya ini, perlahan mulai membuahkan hasil. Mimpi Netti untuk menginjak perguruan tinggi mulai hampir menjadi nyata ketika namanya dinyatakan lulus sebagai mhs PMDK di Universita Diponegoro, bidang study Akutansi.

Kabar gembira ini sontak membuat Netti nyaris tak percaya, meski hatinya senang alang kepalang. Seketika angannya melambung ke angkasa paling tinggi, ke tempat yang tak pernah (mau) ia bayangkan. Namun berita ini sungguh pedih menyayat hati sang ayah, Anasrul.

 

Sesungguhnya orang tua mana yang tidak gembira dan bersyukur jika anaknya diterima di perguruan tinggi negeri, tanpa seleksi pula. Kegembiraan  Anas malah lebih dari itu. Namun, kenyataan lain membuat Anas harus menahan kesedihannya sekuat tenaga. Dari mana ia dapatkan biaya untuk Netti ? Mungkinkah Netti kuliah tanpa biaya ? Apakah undangan saja sudah cukup bagi Netti untuk meraih mimpinya ? Bagaimana memberitahukan Netti bahwa semua itu tak mungkin ? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menggoyah kekuatan Anas menahan sedih gundahnya.

 

Namun bukan Netti namanya jika langsung menyerah pasrah menerima keadaan. Dorongan tekad bulat dalam hatinya sungguh luar biasa. Ia tak kuasa menahan haru biru hatinya ketika para guru mengumpulkan iuran," anggap saja ini sebagai 'hadiah' dari guru-gurumu karena telah mengharumkan nama sekolah," demikian kata gurunya saat menyerahkan uang hasil urunan tsb. Berbekal iuran guru dan uluran tangan warga yang bersimpati, akhirnya Netti nekad meninggalkan orang tua tercinta, adiknya yang masih kls IV SD serta kampung halamannya yang dikelilingi bukit, lalu meginjakkan kaki di halaman kampus Universitas Diponegoro, Semarang.

 

Sekarang Netti telah tercatat sebagai salah satu mhs bidang study Akutansi Univ. Diponegoro. Apakah tantangan Netti selesai sampai di situ ? Benarkah mimpi Netti telah menjadi nyata ? Ternyata belum ! Tak perlu menunggu waktu lama, dalam 2-3  bulan saja, Netti mulai mengalami masaalah dengan keuangannya. Bekal orang tua dan urunan orang kampung serta 'hadiah' guru-guru yang ia hemat setiap hari, mulai menipis. Sementara Netti hanya sebatangkara di perantauannya.

 

Namun sekali lagi, bukan Netti namanya jika tidak terus berusaha. Berkat kegigihan dan keyakinan bahwa masaalahnya bisa teratasi, Netti berhasil mendapatkan pekerjaan di tempat sebuah usaha mainan anak-anak. Netti harus bekerja mulai pukul 2 siang sampai pukul 10 malam. Berat memang, meski dengan upah  yang jauh dari lumayan, namun Netti tetap menjalaninya dengan sepenuh hati dan tetap dengan sebuah keyakinan; di mana ada kemauan, di situ ada jalan.

 

Beasiswa, Dimanakah Rumahmu ?

 

Hidup di kota Semarang tentu tak semudah tinggal di kaki bukit di mana Netti lahir dan dibesarkan. Sulit membayangkan (apa lagi menjalani) seseorang bisa hidup dan kuliah di kota besar hanya bermodalkan penghasilan sebagai penjaga arena mainan anak-anak. Untuk sekedar urusan perut, mungkin tak terlalu sulit bagi Netti. Ia bersama keluarganya sudah terlatih sejak dulu dalam hal mengendalikan perut. Yang belum ada bayangan sama sekali sampai hari ini bagi Netti adalah bagaimana memenuhi kebutuhan akademiknya, seperti uang kuliah/semester/daftar ulang/buku dsb.

 

Ketika ditanya mengenai hal ini, Netti sejenak terdiam di ujung telepon. “hm mm…. belum tahu pak. Itulah pak, Netti sendiri juga bingung, ntahlah pak,” suaranya terdengar gundah, mengambang dan seolah mencari kepastian. Namun ia buru-buru berusaha menutupinya dengan nada optimis sambil mengatakan bahwa orang tuanya di kampung sedang mengajukan permohonan untuk mendapatkan semacam beasiswa dari kantor Wali Nagari (setingkat lurah). “Selain itu, Netti dapat kabar bahwa guru-guru SMA Netti juga sedang mengajukan peromohonan beasiswa dari Pemda Kabupaten, pak,” lanjutnya kemudian. “Ya…, sampai sekarang hanya itu harapan Netti, pak. Doakan Netti ya pak. Kalau usaha-usaha itu tidak berhasil…., entah lah pak,” terdengar Netti memaksakan tertawa kecil yang dibuat-buat di ujung ucapannya. Namun tetap saja ia gagal menyembunyikan kebingungan dan kesedihannya, meski hanya lewat telepon.

 

“Beasiswa, di manakah rumah mu ?,” Yulia Netti ingin bertemu dengan mu.

“Beasiswa, di manakah dirimu ?,” Yulia Netti menggantungkan cita-cita dan impiannya pada mu.

“Beasiswa, haruskah cita dan mimpi Netti berhenti sampai semester I ini?”

“Beasiswa, tampakan dirimu, tampilah dengan gagah dan selamatkan mimpi-mimpi Yulia Netti”.

 

Sekarang Yulia Netti tinggal di sebuah kamar kost yang cukup jauh dari pinggir jalan raya, di salah satu sudut kota Semarang. Untuk menutupi kebutuhan sehari-harinya, Netti tetap bekerja di sebuah tempat mainan anak-anak.

 

Catatan : Alamat email dan no HP Yulia Netti ada pada penulis.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline