Sebuah Catatan
Setiap Agustus datang menjelang, ada kegembiraan tersendiri yang susah dijelaskan dengan kalimat, apalagi digambarkan dengan lukisan. Aroma Agustusan mulai tercium sejak pekan-pekan awal bulan Juli. Kertas pengumuman bertempelan di setiap sudut kampung, tentang kegiatan dan perlombaan yang akan dilaksanakan. Setiap lapangan bola, volley, takraw, bulutangkis, tenis meja, selalu ramai pada sore hari. Malam haripun balai-balai kampung terang benderang oleh olah raga asah otak seperti catur dan domino. Setiap sekolahpun sibuk dengan berbagai persiapan, baik olah raga maupun kesenian.
"... Indonesia raya, merdeka, merdeka,
Tanahku negeriku yang kucinta
Indonesia raya, mereka,merdeka,
Hiduplah.... Indonesia.... Raya.....,".
"Tegaaaaak..., gerak !!!"
Begitulah doeloe ketika penulis masih duduk di bangku sekolah, hampir tak ada kegiatan yang terlewatkan. Sungguh sulit menggambarkan apa rasa ketika itu, sekali setahun berbaris menuju halaman kecamatan, saat berdiri di dalam salah satu barisan, mengangkat tangan sikap hormat ke arah sebuah tiang, dimana selembar kain dwiwarna, merah dan putih, sedang di kerek menuju puncaknya sambil menggemakan bait demi bait Indonesia Raya. Meski hanya berseragam sekolah yang sudah lusuh, hasil kreativitas ibu memvermak bekas abang yang masih kedodoran, namun detik demi detik upacara itu, setiap tahun, mampu menghujamkan doktrin cinta bangsa, cinta tanah air, cinta persatuan serta rasa hormat yang tak terkira pada sosok-sosok pahlawan bangsa.
Namun suasana itu tak pernah lagi dialamai semenjak meninggalkan kampung halaman, meraih predikat pencari kerja . Tak pernah lagi, hormat bendera, menggemakan Indonesia Raya, mengheningkan cipta, bertahun-tahun lamanya. Hingga suatu ketika…
Waktu itu bulan Agustus 2002, penulis bersama lebih dari 350 orang lainnya sudah berminggu-minggu bahkan hitungan bulan tak melihat daratan, terapung diatas laut lepas pantai Kalimantan Timur. Kami hidup diatas kapal tak bergerak alias tongkang yang ada kamar tidurnya, terlibat dalam pekerjaan penyelesaian proyek pembangunan anjungan pengeboran minyak lepas pantai beserta serta fasilitasnya.
Secara umum, bekerja dalam protek di tengah laut adalah suatu hal yang sangat berat dan sulit, mau dilihat dari sisi manapun. Hampir tak ada situasi yang normal seperti hidup atau bekerja di darat. Utamanya adalah tentang keselamatan, nyaris 100% keselamatan ratusan manusia di proyek itu bergantung pada alat-alat dan mesin-mesin. Sebesar apapun barge (sebutan lain tongkang), apapun jenis boat serta helikopternya, semuanya bergantung pada mesin-mesin. Masalah pada mesin, berarti masalah dengan keselamatan.
Demikian juga soal lingkungan kerja, tak bisa kemana-mana, kecuali laut luas disekeliling kita. Tak ada mall, swalayan, taman, bioskop, apalagi mobil. Tambha lagi beban pekerjaan yang seakan tiada habisnya setiap hari. Kekompakan dan saling pengertian setiap orang jadi hal sangat penting, perselisihan kecil antara dua orang bisa saja berakibat fatal bagi keselamatan ratusan orang lainnya. Demikian berlangsung berhari-hari, berminggu bahkan berbulan. Berat memang.
Tetapi semua itu tak mengurangi rasa nasionalisme kami, tak melunturkan rasa hormat kami pada pahlawan yang doeloe pernah membara. Atas prakarsa beberapa rekan, gagasan dan usul disampaikan. Dan atas berkat rahmat Allah Swt, wakil manajemen di lokasi serta pihak client selaku pemilik proyek menyetujui permohonan karyawan untuk tidak bekerja selama ½ hari, guna memperingati HUT Kemerdekaan RI ke-57.
Tgl 16 Agustus malam, beberapa kami membuat persiapan kecil. Dalam waktu singkat terbentuk tim pelaksana upacara. Inspektur dan Komanadan upacara, penggerek bendera dan pemimpin lagu, sampai pembaca naskah Proklamasi. Regu barisan dibentuk berdasarkan departemen karyawan. Tata tertib upacarapun selesai seketika. Agar ada kesan, maka beberapa kejutanpun dirahasiakan.
Sampai tahapan ini saja, kisah-kisah masa sekolah doeloe seolah hadir kembali. Sibuk diskusi, ide-ide bermunculan, urus sana sini, bahkan ketika sudah ditempat tidurpun seolah tak sabar menunggu siang. “Ahk, kok seperti anak kecil lagi ya…? Augh…17-an !! selalu membawa kenangan”.
Pagi itu, 17 Agustus 2002, para pekerja terlihat santai namun tetap mengenakan seragam kerja lengkap dengan peralatan keselamatan. Sebagian besar telah berkumpul di deck (dak) terluas di bagian belakang tongkang, di mana upacara bendera akan dilaksanakan. Sehari-harinya, di deck inilah dilakukan berbagai pekerjaan yang membutuhkan alat angkat berat, tempat ditumpuknya berbagai jenis barang dan peralatan. Namun pagi itu, dak ini telah disulap menjadi sebuah lapangan yang luasnya lebih dari cukup untuk menampung 350-400 orang.
Sekitar pukul 09.00 pagi, persiapan dimulai. Sesaat kemudian, beberapa barisan telah terbetuk dengan masing-masing 1 ketua regu. Tak terkeuali, semua tenaga expatriate (mayoritas asal Perancis) pun ikut membentuk sebuah barisan. Bak tamu negara asing pada upacara resmi kenegaraan, terasa sekali betapa mereka menghormati hari kemerdekaan kami, kemerdekaan kita.
L.k 09.30 upacara siap dimulai. Cuaca cerah yang lebih tepat disebut terik, sesekali ditiup angin laut dari berbagai arah. Sesaat kemudian Inspektur upacara memasuki lapangan upacara, tiba-tiba suasana jadi hening seketika. Yang terdengar hanya deburan ombak yang menghempas dinding-dinding dak tongkang. “Kepada…, Inspektur Upacara, horma..aat, gerak !!,” upacarapun dimulai. Bertindak sebagai Inspektur Upacara Bpk Ir Ahmad Mustofa, seorang Deputy Project Manager di pihak kontraktor. Dan kejutan-kejutan pun mulai terlihat.
Kejutan pertama adalah, ikut sertanya para tenaga expatriate. Kejutan kedua disadari para peserta upacara ketika bendera merah putih mulai dinaikan. Dimana sangsaka merah putih merangkak naik menuju puncak sebuah tiang yang dibuat dari sambungan beberapa pipa besi (scaffolding) yang biasanya digunakan untuk membuat penyangga tempat orang bekerja di ketinggian tertentu. Mereka yang tidak menyadari hal ini dari awal, malah terlihat tersenyum-senyum kecil sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya. Satu per satu tertib acara berjalan lancar, sampai kemudian pada detik-detik pembacaan naskah Proklamasi pada l.k pukul 10.00, dilanjutkan dengan mengheningkan cipta. Maka Kejutan berikutnya pun terjadi.
Jika biasanya acara mengheningkan cipta diiringi oleh alunan lagu “Mengheningkan Cipta” (Hymne Pahlawan), maka kali ini, begitu semua kepala tertunduk dan suasana mulai, tiba-tiba terdengar lengkingan suara sejenis trompet, tetapi ini jelas bukan suara alat musik. Suaranya pun seakan diatur sedemikian rupa, terdengar perlahan namun makin lama makin keras, melengking. Kemudian mengecil seolah-olah hendak menghilang, hilang ditelan suara hempasan ombak. Namun tiba-tiba kembali meninggi panjang... Sungguh suasana ini mampu memberikan kesan, entah pilu entah dukua, seakan masa lalu hadir kembali, padahal tak satupun dari kami yang tahu persis dan mengalami masa lalu itu, masa perjuangan.
"Selesai !", begitu Inspektur Upacara mengakhiri tafakur, kepala-kepala yang ditutupi oleh helem proyek kembali tegak. Ternyata suara lengkingan menyayat hati yang mengiringi tafakur tadi, dikeluarkan oleh terompet kapal yang biasanya berbunyi ketika kapal hendak berangkat menginggalkan pelabuhan. Sungguh tak ada yang menduga.
Tambang Kapal
Begitu upacara selesai dan barisan dibubarkan, iba-tiba ada berteriak, "Merdeka..! Merdeka !". Spontan kelompok lainpun menyahut tak kalah kerasnya, "Merdeka..!" Semua bersalam-salaman dan berangkulan satu sama lain sambil berucap,“Merdeka, sukses ! Merdeka!”, seakan baru saja memenangkan sebuah pertempuran. Ini adalah kejutan yang tak direncanakan.
Kejutan berikutnya hadir ketika lomba tarik tambang, satu-satunya lomba dalam acara ini, hendak dimulai. Setelah semua siap, dua orang panitia menarik seutas tali dari gulungannya yang sudah disediakan di pojok sebuah peti kemas. Sontak semua peserta tertawa terpingkal-pingkal dan panitia yang menarik keluar tambang pun terkekeh-kekeh sambil didorong kesana sini oleh peserta yang terpingkal. "Wah.., ini mah nyiksa !", teriak para peserta. "Tega lu..!!", teriak yang lain.
Apa pasal ? Ternyata tali yang disediakan panitia untuk lomba adalah tambang kapal, yang diameternya hampir sebesar pohon pinang. Jangankan untuk menariknya, memegangnya saja susah. Namun pertandingan tetap berlangsung dan semuanya gembira. Sejenak lupa dengan segala hiruk pikuk pekerjaan proyek sehari-hari.
Demikianlah, meski berada jauh nun ditengah laut lepas, jauh dari hingar bingar semarak kota maupun desa yang merayakan hari kemerdekaan, namun kamipun tak melewatkan peringatan itu. Kami juga berbaris rapih mengangkat tangan hormat kepada sang saka merah putih, kami juga kumandangkan lagu Indonesia Raya, bahkan kami berteriak merdeka ! Merdeka di laut lepas.
Catatan : Inspektur Upacara Ir Ahmad Mustofa, adalah juga seorang kompasianer
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H