Lihat ke Halaman Asli

Almira Ramada

Fresh Graduate in Journalism

Saat Edukasi Perubahan Iklim Dibutuhkan, di Situlah Jurnalis dan Aktivis Berperan

Diperbarui: 31 Mei 2022   21:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media dan Lingkungan. Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat memaparkan peran media massa dalam menekan laju perubahan iklim. (Foto: Almira Ramada)

Akhir-akhir ini, gejala perubahan iklim kerap kali muncul di sekitar kita. Salah satu contoh nyatanya adalah banjir bandang yang melanda Sumedang, Jawa Barat, tahun lalu. Banjir itu terjadi tanpa adanya alih fungsi lahan maupun aktivitas lainnya yang dapat mengurangi daya serap tanah terhadap air. Alhasil, perubahan iklim menjadi satu-satunya terduga penyebab.

Sebagai dasar upaya mengurangi gejala tersebut, penting bagi masyarakat untuk memahami perubahan iklim. Akan tetapi, menurut pengamatan Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Barat Meiki Wemly Paendong, masyarakat Indonesia masih kurang memiliki kesadaran untuk mendalami isu tersebut.

"Mereka tidak menyangkal (perubahan iklim), tapi, di satu sisi, pemahaman untuk mencoba mendalami apa itu perubahan iklim, penyebabnya, dan bagaimana tindakan yang harus dilakukan, ini memang yang masih rendah," ujar Meiki dalam Talkshow Parade Jurnalistik 2022, Universitas Padjadjaran, Selasa (17/5).

Edukasi masyarakat terkait perubahan iklim pun perlu digencarkan. Tidak hanya melalui institusi pendidikan, upaya tersebut juga penting untuk diterapkan melalui media massa. Oleh sebab itu, para jurnalis perlu lebih teliti dan disiplin dalam memverifikasi informasi yang akan mereka sebarluaskan kepada masyarakat.

"Banyak sekali inovasi-inovasi terkait lingkungan (yang) dilabeli 'green' (dan) dilabeli bisa berdampak positif untuk menekan laju perubahan iklim. Namun, kalau kita gak cermat dan gak mau mendalami (inovasi tersebut), kita malah bisa mempublikasikan informasi yang (kesannya) 'berbasis sains', tapi kalau dibenturkan lagi dengan sains malah 'bermasalah' (keliru)," ujar Meiki.

Di sinilah kolaborasi antara jurnalis dan aktivis lingkungan diperlukan. Para aktivis yang memiliki pengetahuan lebih dalam mengenai lingkungan dapat membantu para jurnalis untuk memperoleh informasi yang akurat dan berdasar pada sains. Sebaliknya, para jurnalis dapat membantu para aktivis untuk mengedukasi masyarakat mengenai perubahan iklim.

WALHI Jawa Barat sendiri telah beberapa kali berkolaborasi dengan para jurnalis. Sebagai contoh, Meiki mengungkapkan, pihaknya sempat mengajak "kawan-kawan jurnalis" untuk mengunjungi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti, Kab. Bandung Barat.

"Selain melakukan kunjungan lapangan bersama-sama, kami (WALHI Jawa Barat) juga memberikan penjelasan (mengenai) keterkaitan antara tempat pembuangan sampah akhir dengan perubahan iklim (kepada para jurnalis)," ungkap Meiki.

Di samping itu, WALHI Jawa Barat juga sempat menjalin kerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung. Dalam suatu proyek kolaboratif yang bertajuk "JournalisTrip", mereka bekerja sama dalam membuat liputan tentang isu pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di Indramayu dan Cirebon.

"Di sana, kami juga mengarahkan kawan-kawan jurnalis untuk mengelaborasi fakta di lapangan sampai ke dampak-dampak yang dirasakan oleh masyarakat, (seperti) dampak-dampak sosial (dan) dampak-dampak lingkungan yang sudah terjadi, supaya ada gambaran utuh," jelas Meiki.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline