Welcome Back! Lama banget ya nggak pernah nulis lagi, huhu. Sekarang pun masih susah buat mulai nulis lagi. Untuk pemanasan, aku bagikan saja cerita lamaku. Ini bukan penduan mendaki, bukan rekomendasi, bukan juga resensi. Aku hanya ingin menceritakan kisah pribadi saat pertama kali mendaki.
______
So, here am I. Aku bukan pendaki. Aku juga bukan anak petualang yang senang keluyuran. Bahkan, aku lebih betah tinggal di rumah seharian tanpa melakukan apapun ketimbang jalan-jalan tak tentu arah. BUT, aku sangat suka alam. Ijo-ijonya yang mendamaikan itu tak pernah terkalahkan oleh amusement park semahal apapun, dan di sini aku akan bercerita tentang pendakian pertamaku. (Bukan pertama juga sih. Sebelumnya pernah naik gunung, tapi cuma sekelas Panderman yang setengah hari beres, Ijen yang lebih cocok dibilang jalan daripada ndaki, juga Pecel Pithik yang--yah--aku ke sana bersama dua balita yang berlari-lari naik turun. Jadi boleh dikata inilah pendakian yang baru benar-benar mendaki)
Sudah kubilang aku bukan pendaki. Namun bukan berarti aku tak ingin. Menjajaki gunung bukan hobiku, tapi bisa dibilang itu keinginanku yang paling dalam (salah satunya). Tak perlu mencapai banyak puncak, sekali saja mungkin cukup untuk menunaikan keinginan dan rasa penasaran. Dan akhirnya, aku tak melewatkan satu kesempatan ini.
May 28, 2016. Tepat sesaat sebelum Maghrib, sebuah rencana telah diputuskan. Lima dari tujuh manusia berkumpul menyusun persiapan dan membagi tugas. Dua sisanya masih sibuk dengan kegiatan masing-masing yang cukup menguras tenaga mengingat seharusnya malam ini kami beristirahat. Sebuah keputusan yang cukup (sangat) nekat oleh tujuh amatir, demi niat sebuah perjuangan tak terbayangkan. Nekaat? Yap! Totally bondo nekat. Di antara kami bertujuh hanya ada dua perjaka. Lima lainnya adalah gadis-gadis cilik (baru umur 20-an) yang tak punya pengalaman. Tak ada pendaki di antara kami, hanya dua personil yang kebetulan pernah mendaki (salah satunya aku yang juga nggak bisa dibilang mendaki). Modal yang kami punya hanyalah keinginan berjuang. Kami tahu resikonya, tapi tidak benar-benar tahu. Tak ada yang mampu membayangkan akan seperti apa perjalanan ini nanti.
May 28, 2016. Selepas Maghrib kami berpencar. Membeli ransum, menyewa peralatan, serta mencari pinjaman carrier (tas gunung) untuk menghemt anggaran. Semua dilakukan dalam semalam. Aku dan seorang kawan laki-lakiku kebagian tugas mengumpulkan (membeli) sumber energi (makanan) dan obat-obatan. Well, aku yang cukup menjaga diri dan jarak dari lawan jenis (abaikan, :D, ini cerita lain), cukup grogi karena harus masuk swalayan berdua, meskipun terpisah dengan kendaraan masing-masing. Alhasil, terjadilah beberapa kebodohan yang kulakukan seperti menjatuhkan barang-barang dan menghilangkan kartu parkir. (yang ini paraaaaaaah. Huhuuu. Biasanya barang-barang penting macam itu tak pernah jauh dari genggaman. Yaaaaaah harus sabar dan tenang walau terpaksa mencari kartu itu sampai dapat atau sepeda motor ditahan di tempat. Adaaaaa aja)
May 28, 2016. Jam malam. Aku rasa sudah cukup mempersiapkan barang-barang. Tepat keesokan pagi kami akan berangkat. Kupikir malam cukup larut hingga aku lebih memilih tidur daripada browsing mempelajari medan, ya walaupun sempat nonton film sebentar. Kutaksir kawan-kawanku masih sibuk dengan persiapan masing-masing.
______
May 29, 2016. Kami siap. Sedikit terlambat. Kami siap dengan persiapan yang tak siap memadai. Latihan fisik? Istirahat cukup? Tidak ada. Baru semalam kami memutuskan dan melakukan semuanya. Sesiangnya pun kami masih disibukkan dengan kuliah atau kegiatan lain yang cukup padat. Namun kami siap karena tak ingin persiapan ini hanya jadi wacana abadi. (bagi yang ikut mengalami mungkin istilah 'wacana' ini bisa jadi kata yang ngejleb. Hehe peace bro!)
Tak ada halangan berarti dari keberangkatan kami selain sedikit keterlambatan dan sepeda motor yang hampir jumpalitan. (Lhaah kok bisa?? Entahlah. Mungkin salah strategi. Salah tancap. Untung nggak ada kendaraan yang salipan. Bayangin aja, jalan nanjak plus belokan hampir 360 derajat. Meskipun bukan sekali ini motorku naik-naik ke puncak gunung dengan medan ekstrem, toh apapun bisa terjadi. Termasuk kejadian 'salah kedaden' yang bikin roda depan ngangkat dan kami pun limbung. Untung gak njempalik. Untung gak njlungup nang jurang. Yo wes ngene iki jenenge wong jowo, opo-opo sik ono untunge. Cukuplah dengan ditertawakan pesepeda pancal yang dengan tegap melaju di sebelah kami. Hadeeeeeh)