Lihat ke Halaman Asli

Al May Yusuf Kurniavan

Mahasiswa Universitas Udayana

Analisis Putusan MK tentang Gugatan Hasil Pemilu

Diperbarui: 31 Mei 2024   22:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://polpp.kulonprogokab.go.id/

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan resmi memberikan hasil sidang terkait pemilu yang dilaksanakan pada 14 Februari 2024. Gugatan hasil pemilu yang diusung oleh pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan nomor urut 01 dan 03 ditolak seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada 22 April 2024. Hal itu memberikan informasi bahwa kemenangan telah berada di pihak pasangan calon presiden nomor urut 02 sebagai Presiden terpilih tahun 2024. Terdapat hasil putusan MK lainnya, yaitu tuduhan-tuduhan kepada pemerintah, seperti kecurangan, intervensi aparat, kemudian politisasi bansos, kemudian mobilisasi aparat, ketidaknetralan kepala daerah, telah dinyatakan tidak terbukti.

Padahal sudah sangat jelas bahwa politisasi bansos memiliki konsep yang sama dengan politik uang. Sudah menjadi rahasia umum bahwa politik uang merupakan bagian dari perpolitikan Indonesia di masa menjelang dilaksanakannya pemilu. Sistem dari politik uang adalah dengan cara memberikan sesuatu dengan maksut penyuapan. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan dukungan saat pemilihan umum.

Pada masa kampanye, Presiden Joko Widodo menunjukkan dukungannya terhadap pasangan Prabowo-Gibran. Terlepas dari fakta bahwa Gibran adalah anak kandung dari Joko Widodo, status Joko Widodo pada kala itu adalah seorang Presiden. Semua pemimpin seharusnya masuk kedalam golongan mereka yang diwajibkan bersikap netral dalam hal keberpihakan saat masa pemilu. Contoh dari golongan netral adalah aparatur negara seperti TNI dan Polri.

Saat menyadari bahwa Joko Widodo melakukan aksi kampanye, masyarakat mempertanyakan keprofesionalitasannya sebagai seorang presiden. Kemudian Jokowi menyatakan bahwa seorang presiden diperbolehkan untuk melakukan kampanye. Dia memerkuat argumen tersebut dengan menyebutkan Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu yang menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye. Detail lebih lanjut mengenai perkara ini dijelaskan dalam Pasal 281 ayat (1) UU Pemilu yang berbunyi sebagai berikut: Kampanye Pemilu yang mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota harus memenuhi ketentuan: tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan menjalani cuti di luar tanggungan negara.

Perihal di atas merupakan salah satu contoh dari konsep Rule by Law. Hal ini dapat dibuktikan dari tujuan pembuatan aturan tersebut hanyalah untuk kepentingan mereka yang berkuasa. Keuntungan hanya akan didapat oleh satu pihak saja. Pada akhirnya, semua kepala daerah kedepannya tidak akan takut untuk menunjukkan ketidaknetralannya saat masa kampanye untuk pemilu selanjutnya. Mereka akan berlindung dibalik undang-undang yang mengatur hal tersebut. mereka akan menggunakan kasus Jokowi sebagai kambing hitam. Kepemimpinan tertinggi dalam negara saja melakukan, tentu saja hal tersebut akan memicu pihak lain untuk melakukan hal yang sama pula.

Penolakan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mengenai gugatan hasil pemilu dari pasangan calon presiden nomor urut 01 dan 03 pada 22 April 2024 menegaskan kemenangan pasangan calon nomor urut 02 sebagai Presiden terpilih tahun 2024. Meskipun demikian, putusan tersebut juga menolak tuduhan-tuduhan terhadap pemerintah, termasuk politisasi bansos, mobilisasi aparatur, dan ketidaknetralan kepala daerah yang pada saat itu dilakukan oleh pihak pasangan calon presiden nomor urut 02. Politisasi bansos, yang sejalan dengan konsep politik uang, telah mendegradasi nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya. Kontroversi ini menggambarkan konsep "Rule by Law" di mana aturan dibuat untuk kepentingan penguasa, memungkinkan pelanggaran etika politik yang dapat berakibat serius di kemudian hari. Hal ini dapat merangsang perilaku serupa dari pemimpin daerah di masa depan, merendahkan integritas pemilu dan demokrasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline