Salah satu fenomena permasalahan negara yang telah mendarah daging di Indonesia adalah korupsi. Fenomena ini rasanya telah mengakar hingga ke sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Korupsi seakan-akan telah menjadi tontonan gratis masyarakat dari hari ke hari. Media dan pers layaknya menyuapi masyarakat tentang kebusukkan para koruptor dan segala tipu muslihatnya.
Korupsi yang berasal dari kata corrumpere adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Orang yang melakukan korupsi dikenal dengan koruptor.
Korupsi sendiri merupakan salah satu bentuk penyimpangan Pancasila sila ke-4 yang berbunyi "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakian". Hakikat Pancasila sila ke-4 adalah demokrasi. Demokrasi artinya pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Secara sederhana, demokrasi yang dimaksud adalah melibatkan segenap bangsa dalam pemerintahan baik yang tergabung dalam pemerintahan dan kemudian adalah peran rakyat yang diutamakan untuk melayani rakyat. Semua hal erat kaitannya dengan keberadaan rakyat.
Salah satu kasus mega korupsi yang baru-baru ini terjadi adalah kasus e-KTP. Kasus korupsi e-KTP adalah kasus korupsi di Indonesia terkait pengadaan KTP elektronik untuk tahun 2011 dan 2012 yang terjadi sejak 2010-an. Mulanya, proyek ini berjalan dengan lancar di bawah pengawasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Namun, kejanggalan demi kejanggalan mulai tampak sejak proses lelang tender membuat berbagai pihak mulai dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Government Watch, pihak kepolisian, Konsorsium Lintas Peruri bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi menaruh kecurigaan akan terjadinya korupsi.
KPK mulai melakukan berbagai penyelidikan demi mengusut kronologi dan siapa saja dalang di balik kasus ini. Para pemangku kebijakan terkait proyek e-KTP pun dilibatkan sebagai saksi, mulai dari Gamawan Fauzi, Nazaruddin, Miryam S. Hani, Chairuman Harahap bahkan hingga Diah Anggraini. Ironisnya, tangan kotor yang mendalangi hal ini adalah aparatur negara. Mereka adalah Sugiharto, Irman, Andi Narogong, Markus Nari, Anang Sugiana, dan Setya Novanto. KPK juga menemukan fakta bahwa negara harus menanggung kerugian sebesar 2,314 triliun akibat ulah licik para tersangka.
Fenomena korupsi lama-kelamaan akan menyingkirkan posisi rakyat sebagai prioritas pemerintah. Bukan lagi untuk rakyat, tetapi untuk diri sendiri, untuk kesejahtaraan pribadi. Koruptor seakan-akan buta akan keberadaan rakyat.
Tak ada rakyat di mata mereka, orang-orang yang seharusnya diberikan kesejahteraan. Rakyat hanya dijadikan topeng bagi mereka agar mendapatkan keuntungan secara terselubung. Seakan-akan terlihat bahwa mereka bekerja untuk kepentingan rakyat, padahal sebenarnya mereka mengambil sebagian hak rakyat. Hal itu membuktikan bahwa ada kecurangan dalam birokrasi dan demokrasi.
Uang yang awalnya ditujukan untuk memfasilitasi rakyat malah raib. Tak disangka-sangka uang itu berpindah tempat ke kantong para pejabat. Sama saja mereka telah mengambil hak masyarakat untuk mendapat layanan dan fasilitas publik yang baik. Kurangnya dana dari yang telah diperhitungkan membuat fasilitas yang tengah dikelola menjadi tidak semaksimal dibanding dengan dana yang seharusnya diberikan. Hal itu tentunya membawa dampak buruk bagi keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Demokrasi yang seharusnya menujukan pada rakyat malah merugikan rakyat sendiri.
Mengapa mereka melakukannya? Menurut saya, faktor utama berasal dari kepribadian yang rakus dan serakah, serta moral yang lemah. Maka dari itu, perlu ditanamkan nilai kejujuran dan keimanan sejak dini agar dapat membendung hawa nafsu untuk korupsi dan berbuat jahat.