Lihat ke Halaman Asli

Alma Nayla Salsabila

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulawarman

Apakah Indonesia Masih Pantas Disebut Negara Demokrasi?

Diperbarui: 3 Desember 2023   11:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemerintahan di Indonesia masih membatasi para masyarakatnya untuk hal berbicara (berekspresi dan berpendapat) terutama di dalam ruang digital. Padahal dalam pasal 28e ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat." Di Indonesia juga kebebasan berpendapat ialah sebuah hak yang dilindungi oleh konstitusi. Namun masih banyak suara rakyat yang tidak didengar oleh Pemerintahan setempat, padahal kritikan para rakyatnya juga sebenarnya untuk kepentingan wilayah yang ditempati agar lebih baik lagi kedepannya.

Kasus yang pernah terjadi di Indonesia pada tahun 2023 ini ada pada "Bima Yudho Saputro", creator yang mengkritik kepada Pemerintah daerah Lampung di media sosialnya. Ia kecewa pada Pemerintahan disana, karena kondisi Lampung tidak mengalami perubahan, entah itu dari infrastruktur, proyek kota baru, sistem Pendidikan dan masih banyak hal yang lainnya yang tidak mengalami perubahan.

"Jalan yang di Lampung, gue sudah sering bahas jalan karena jalan itu kayak infrastruktur yang paling umum dan untuk mobilisasi ekonomi. Tapi di Lampung tuh kayak 1 km bagus, 1 km rusak, terus juga jalan cuman di tempel-tempel doang. Ini apa sih? Ini Pemerintah main ular tangga atau apa." Ujar Bima.

Di salah satu video Bima juga ada mengatakan kata-kata yang menimbulkan kesalahpahaman yaitu "daj*al". Padahal menurutnya itu hanya sebuah konotasi atau kata yang mengandung makna kias, bukan kata yang sebenarnya. "Saya cuman mau kasih kritikan, kalau misalkan saya tidak bicara "daj*al" gak akan viral. Kalau saya kritik baik-baik tidak akan viral dan tidak bakal didengar." Ujar Bima.

Viralnya video Bima membuat ia di laporkan oleh salah satu advokat Gindha Ansori ke Kepolisian Daerah Lampung dengan tuduhan pelanggaran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pelaporan dimaksud terkait dengan penggunaan kata yang dinilai mengandung ujaran kebencian dan penghinaan terhadap unsur suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Namun disamping itu, setelah adanya video kritikan dari Bima yang viral di media social, akhirnya jalan yang rusak di Lampung selama 32 tahun lamanya, baru diperbaiki Pemerintah setempat.

Negara yang katanya Negara Demokrasi, tapi saat rakyatnya memberikan kritikan malah langsung dilaporkan kepihak berwajib. Apakah tunggu para rakyatnya berkata kasar dulu baru didengar oleh Pemerintahannya? Pemerintah yang bijak jika mendapatkan suara kritikan dari rakyatnya seharusnya didengar dan melakukan evaluasi, bukan malah membiarkan dan sampai melaporkan rakyatnya. Demokrasi di negara Indonesia ini sekarang semakin tidak jelas, karena semakin berkurangnya kebebasan rakyatnya dalam beraspirasi dan berekspresi. Bisa saja dikatakan Indonesia ini menjadi negara Demokrasi anti kritik.

Memang benar dalam prosedur Demokrasi telah menyediakan saluran yang memungkinkan rakyatnya untuk menyalurkan semua aspirasinya, tetapi jika suaranya tidak di dengar sampai ke pemerintahan setempat, untuk apa? Jika halnya ruang kesempatan bagi rakyat untuk berpendapat tidak memadai dan rakyatnya hanya menerima saja dari hasil pemerintah, maka akan menimbulkan masalah-masalah dari kebijakan yang sudah dihasilkan karena tidak adanya kesepakatan antara Pemerintah dengan rakyatnya.

Tatanan negara dengan Demokrasi tanpa adanya rakyat itu harus dihindari, karena bisa saja merusak hidup bersama dan mengabaikan makna substansial dari kemerdekaan. Padahal sudah ditegarkan pada pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi bahwa "kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline