Lihat ke Halaman Asli

Pemimpin (Rakyat) Multikultur

Diperbarui: 18 Juni 2015   05:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tahun politik Indonesia patut dikatakan mencapai klimaksnya hari ini, 22 Juli 2014. Pasangan pemimpin baru akan ditetapkan untuk memimpin rakyat Indonesia selama 5 tahun. Hal menarik yang patut ditelisik adalah proses pemilihan pemimpin dengan macam polemiknya. Beberapa menggunakan isu etnis, agama, status sosial sampai beberapa cap negatif untuk menggiring masyarakat pada sebuah persepsi layak dan tidaknya pasangan tertentu untuk menduduki posisi RI 1. Sebagian melupakan bahwa realitas Indonesia dahulu dan kini adalah Indonesia multikultur. Pertanyaan besar yang patut dilontarkan pada para politisi Indonesia kini adalah pahamkah mereka akan ide dan fakta bahwa Indonesia ini multikultur? Ataukah para politisi ini hanya memahami bahwa berpolitik hanya sebatas pada aktivitas partai politik dan ragam upaya untuk mempertahankan status individu sebaga anggota dewan perwakilan rakyat?

Perbedaan kultur, masyarakat multikultur telah menjadi fakta sosial sampai saat ini. Di masa Yunani Kuno, konsep polis diperkenalkan untuk menyatukan beberapa regio dan komunitas dengan perbedaan tradisi, dialek, identitas, norma dan perbedaan lain. Di zaman medieval, di beberapa tempat, agama tertentu adalah mayoritas namun juga terdapat kelompok-kelompok kecil dengan perbedaan ritual. Abad 20 membawa masyarakat global pada kenyataan bahwa perbedaan kultur semakin pelik dengan berbagai ras, bahasa, agama, identitas suku dan banyak hal lain. Para filsuf politik merumuskan realitas ini sebagai fenomena “berada bersama yang lain” dalam perbedaan kultur di satu ruang sosial. Artinya fenomena koeksistensi kendati berbeda dapat tercipta dalam suatu arena. Ada interaksi, konsensus juga kemampuan untuk melihat yang berbeda itu sebagai bagian dari komunitas sosialnya. Ruang sosial Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke. Di dalam ruang ini, masyarakat Indonesia berada bersama yang lain dengan bermacam identitas etnis, budaya lokal, agama, bahasa, tanpa mengesampingkan satu identitas multi-budaya nasional, Indonesia.

Untuk mencapai satu pemahaman bersama, kita menyebut Indonesia sebagai satu konsep multi-budaya nasional. Konsep Indonesia ini perlu dipahami sebagai penyatu, pengikat dari semua perbedaan yang dimiliki dari Sabang sampai Merauke. Konsep multi-budaya Indonesia dapat disejajarkan dengan pengertian bahwa multikultur tidak hanya merujuk pada komunitas yang berbeda budayanya tetapi juga mengandung kebijakan untuk melindungi dan menjaga perbedaan budaya yang ada. Multikulturalisme menjadi objek kajian dalam filsafat politik pertama-tama bukan sebagai upaya memperjuangan kesetaraan masyarakat tetapi juga menekankan bahwa identitas budaya perlu dipertimbangkan dalam kebijakan politik secara normatif dan pengakuan akan keberagaman identitas yang ada. Di tataran ini, para politisi Indonesia absen untuk mengaplikasikannya. Beberapa politisi masih menggunakan beberapa latar belakang sebagai instrumen untuk menjegal lawan politiknya.

Sebelum memaparkan lebih jauh soal konsep multikultural, beberapa konsep penting budaya patut ditampilkan. Dengan begitu, pemimpin yang akan memimpin Indonesia memiliki implikasi praktis dalam pelayanan pada masyarakat multikultur.

Dalam persepsi Semiotic, Levi-Straus, Malinowski dan Mead menyebut budaya sebagai perangkat sistem sosial, simbol yang direpresentasikan dan dipraktekkan oleh kelompok masyarakat tertentu. Konsep budaya patut dipahami sebagai sistem simbol sebagai intrumen komunikasi yang menghadirkan (identitas) kelompok tertentu bahkan dunia. Bentuk komunikasi berdasarkan pada simbol, sturktur dan prinsip-prinsip ideologi yang dimiliki. Budaya kemudian disepadankan dengan aktivitas, karya dan segala hal yang berkaitan kehidupan manusia. Bahasa, seni dan kegiatan berpikir manusia adalah bentuk “budaya” yang patut dipelajari lebih lanjut.

Budaya dalam konsep normatif mencakup kepercayaan, norma dan nilai-nilai moral yang mendasari perilaku manusia. Ini berarti budaya merujuk pada kelompok berdasarkan norma moral dan kepercayaan yang dijadikan dasar berperilaku bagi sekelompok orang; nilai yang dianut dan efek perilaku adalah bagian dari budaya. Seseorang dikatakan sebagai Yahudi, Kristen dan Muslim didasarkan pada kenyataan bahwa mereka menghormati dan mengikuti ajaran moral yang terdapat dalam Taurat, Alkitab dan Alquran. Komitmen moral seseorang disesuaikan dengan konsep budaya sebagai norma. Baik konsep budaya semiotik maupun normatif, sama-sama menunjuk budaya pada kegiatan logis manusia. Yang khas dari persepsi normatif adalah efek moral tindakan manusia dalam kebersamaan dengan yang lain. Tindakan individu dan persepsinya memiliki dimensi moral, rasionalitas dan identitas yang berkaitan dengan penilaian moral.

Budaya dalam konsep komunitas. Pemahaman budaya pada tataran ini berdasarkan pada kategori kelompok minoritas, berdasarkan etnis maupun kelompok masyarakat yang membutuhkan perlakuan khusus berdasarkan kebutuhan kelompoknya. Kenyataan menunjukkan bahwa kelompok tertentu memiliki “kebiasaan” yang berkaitan dengan cara hidup, kelompok yang menghadirkan konteks sosial di mana individu memiliki kebebasan memilih, menjadi otonom. Budaya dalam konsep komunitas ini nantinya akan berefek pada kebijakan pemerintah yang perlu disesuaikan dengan kontek sosialnya.

Term multikulturalisme digunakan untuk menggambarkan realitas suatu komunitas. Lebih tepatnya term ini digunakan untuk menjelaskan tentang kenyataan suatu komunitas yang memungkinkan banyak kelompok masyarakat dengan latar belakang budaya hidup bersama. Multikulturalisme di satu sisi dipahami sebagai konsep deskripsi perbedaan budaya, di sisi lain dipahami sebagai jenis kebijakan efektif dan aplikatif untuk perbedaan budaya dalam masyarakat. Perbedaan budaya yang dimaksud terdiri atas perbedaan suku, ras, agama, bahasa, teritori, ideologi dan perbedaan lain. Multikulturalisme kerap dipahami dengan baik bahkan indah dalam slogan, satu hati banyak wajah.

Indonesia, sebagai konsep multi-budaya, dapat digambarkan juga dengan realitas satu hati banyak wajah. Tak hanya itu, Indonesia menjadi sebuah ruang sosial yang memungkinkan semua (manusia) yang berbeda hidup bersama dengan satu nama. Indonesia, sejauh ini, memungkinkan masayarakatnya yang berbeda keyakinan berdoa dalam satu rumah dengan kamar berbeda, sesuai ajaran dan keyakinan masing-masing. Sebagian anggota komunitas Indonesia tentu tak sepakat dengan istilah “serumah” namun mayoritas anggota keluarga Indonesia mampu menerima semua perbedaan yang ada dan mampu hidup berdampingan, hidup bersama dengan yang lain dalam keberagaman.

Pemimpun baru Indonesia untuk periode 2014-2019 akan ditentukan hari ini. Melihat kembali aktivitas politik dalam koridor Indonesia yang multi-kultur, sebagian besar politisi gagal berpolitik sebagai politisi multi-kultur. Isu agama menjadi instrumen mudah dan tajam untuk menciptakan kelas baru di dalam nama Indonesia. Isu etnis dijadikan pisau besar untuk membelah satu tubuh Indonesia dalam beberapa potongan. Ketidakmampuan untuk menghormati pilihan rakyat tampak dalam klaim kemenangan sepihak. Upaya penonjolan satu kelompok masyarakat lebih unggul dari kelompok lain tak ubahnya dengan menyemaikan permusuhan dalam Indonesia yang harmoni. Pemimpin baru diharapkan mampu memahami sepenuhnya identitas Indonesia yang sama dan harmoni dalam perbedaan budaya. Pemimpin yang baru adalah pemimpin multi-kultur yang mampu membuat kebijakan dalam koridor pemenuhan kebutuhan kelompok masyarakat yang berbeda dan tak takut untuk menyatakan bahwa masing-masing etnis dapat bertumbuh bersama dengan kekahasan masing-masing. Pemimpin yang baru diharapkan meningkatkan kualitas SDM di lingkup dewan wakil rakyat, setidaknya memahami dan menyadari bahwa Indonesia adalah rumah bagi mereka yang berbeda. Indonesia tidak membutuhkan pemimpin yang sukuis, fanatik, egois tetapi pemimpin yang peduli pada keberagaman dan bangga sebagai bangsa multi-kultur.

Indonesia membutuhkan pemimpin yang mampu memahami sistem simbol Indonesia satu. Pemimpin yang mampu merepresentasikan sistem simbol itu pada dunia. Indonesia tak membutuhkan pemimpin yang ditakuti bangsa lain. Bangsa Indonesia dengan segala keberagamannya mampu menarik sikap hormat dari negara bangsa yang lain. Pemimpin Indonesia diharapkan mampu menjadikan dirinya sebagai simbol, identitas, dan representasi masyarakat majemuk dengan sistem dan norma moral berbeda. Pemimpin yang mampu membangun kesadaran moral anak bangsa untuk mempertimbangkan efek terhadap yang lain dalam bertindak. Ini konsep pemimpin ideal Indonesia? Tidak. Pemimpin yang mampu menyadari bahwa Indonesia itu multi-kultur saja sudah cukup. Dengan demikian, tidak ada lagi boneka perwakilan rakyat yang nyaman dengan cerita perjuangan masa lalu namun melupakan identitas bangsa sebenarnya. Tidak ada lagi “artis baru” pilihan rakyat yang tak memahami sedikitpun tentang cara bekreasi demi Indonesia satu, Indonesia hebat menuju masyarakat yang lebih setara dan sejahtera.

Indonesia, membutuhkan pemimpin yang mampu mempertahankan identitas, norma dan ideologi “satu hati banyak wajah”. Pemimpin yang mampu meningkatkan kesetaraan dan kesejahteraan masyarakat pada tararan konsep Indonesia multi-kultur.

AC

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline