Setiap pelajar tentunya ingin mendapatkan lingkungan belajar yang nyaman, aman, dan dihargai. Namun tanpa kita semua sadari, bahwasanya di luar sana masih ada banyak sekali pelajar di seluruh dunia yang setiap harinya mengalami perundungan verbal. Banyak pula yang menganggap remeh perundungan verbal sehingga kasus perundungan verbal semakin marak terjadi.
Bayangkan ada seorang pelajar yang masih menduduki bangku SMA, yang mana ia seharusnya dapat menikmati masa mudanya dan dapat mengembangkan prestasinya. Akan tetapi, di lingkungan sekolah ia malah mendapatkan perundungan serta perlakuan tidak adil lainnya yang menimpa selama bertahun-tahun.
Sebagai contoh bukti nyata ialah kasus yang dialami oleh seorang siswa kelas 2 SMAN 4 Pasuruan yang dilarikan ke RSJ dr Radjiman Wediodiningrat Malang, pada bulan Agustus lalu. Siswa tersebut mengalami depresi berat disebabkan perundungan yang dilakukan teman-temannya sejak ia duduk di bangku kelas 2 SMP dan dilanjutkan hingga kelas 2 SMA.
Perundungan yang terjadi dalam kurun waktu yang tidak sebentar, dikarenakan sang pelaku telah melakukan perundungan dari SMP dan bersekolah di sekolah yang sama saat SMA, lalu sang pelaku melanjutkan aksi perundungan pada korban.
Jenis perundungan yang menimpa korban berupa intimidasi yang dilakukan setiap berada di lingkungan sekolah entah di dalam kelas maupun di luar kelas, sang korban mengaku diolok-olok dan diperas oleh para pelaku perundungan yang diduga ada 15 siswa. Kasus ini juga telah dilaporkan oleh keluarga korban pada pihak kepolisian agar ditangani melalu jalur hukum.
Bullying verbal atau bisa kita sebut perundungan verbal adalah semacam tindakan bullying secara lisan yang dapat menyakiti korban. Bullying verbal juga termasuk dalam jenis bullying yang sering dijumpai di lingkungan sekolah. Perundungan ini memang tidak meninggalkan bekas pada luka fisik, tetapi dapat melukai perasaan dan berpengaruh pada kesehatan mental korban. Hal tersebut menyebabkan para pelajar yang menjadi korban bullying verbal merasa tidak aman dan takut ketika berada di sekolah, entah pada saat berlangsungnya kegiatan berlajar maupun di luar kegiatan belajar.
Permasalahan tentang bullying verbal di sekolah adalah sebuah tindakan kriminal yang sangat berpotensi merusak lingkungan belajar. Bahkan beberapa pasal dalam Undang-Undang telah menentukan hukuman bagi para pelaku bullying. Dan juga dapat kita lihat, bahwasanya peristiwa tersebut sangat bertentangan dengan teori keadilan yang diajukan oleh John Rawls.
Standar keadilan yang terdiri dari otonomi, distribusi, dan responsibility menjadi acuan bahwa bullying verbal sangat bertolak belakang pada teori keadilan John Rawls. Dalam maknanya, otonomi diartikan sebagai kebebasan untuk membuat keputusan, lalu distribusi memiliki maksud nilai sosial yang didistribusikan secara setara dan adil, sedangkan responsibility adalah tanggung jawab untuk memenuhi keadilan.
Ketiganya itu saling berhubungan, otonomi pribadi jangan sampai merusak kesejahteraan orang lain. Distribusi yang adil harus mempertimbangkan otonomi pribadi serta saling tanggung jawab. Dan tanggung jawab bersama untuk saling mempertahankan keadilan dalam otonomi dan distribusi.
Dapat kita amati bahwa adanya pelanggaran kasus bullying verbal dengan ketiga standar keadilan tersebut. Yang pertama, korban bullying verbal sering merasa ia tidak mempunyai otonomi untuk meminta bantuan atau melakukan pembelaan terhadap dirinya. Kedua, pelaku bullying verbal yang memiliki lebih banyak kekuasaan dibandingkan korban. Ketiga, entah pelaku ataupun saksi merasa tidak memiliki tanggung jawab untuk menghentikan aksi bullying.
Lalu bagaimana penerapan teori keadilan John Rawles dalam mengatasi bullying verbal di sekolah?. Prinsip-prinsip dasar keadilan John Rawles mencakup:
- Rasionalitas yakni mutually disinterested attitude (sikap tidak saling terikat) dan the veil of ignorance (keluar dari selubung ketidaktahuan).
- Kebebasan.
- Kesamaan hak.