Lihat ke Halaman Asli

Allysa Aditya

Universitas Airlangga

Bertindak Sekarang atau Terlambat! Dampak Mematikan Perubahan Iklim

Diperbarui: 20 Juni 2024   15:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perubahan iklim adalah salah satu tantangan terbesar yang dihadapi umat manusia di abad ke-21. Fenomena ini telah menjadi perhatian utama para ilmuwan, politisi, dan masyarakat umum di seluruh dunia. Namun, meskipun bukti dampak perubahan iklim semakin jelas, tindakan global untuk mengatasi masalah ini masih jauh dari yang diharapkan. Artikel ini akan membahas dampak perubahan iklim yang sudah terlihat saat ini, implikasinya di masa depan, serta langkah-langkah yang harus diambil untuk mengatasi krisis ini.

Pertama, penting untuk memahami apa itu perubahan iklim. Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) mendefinisikan perubahan iklim sebagai perubahan jangka panjang dalam suhu rata-rata dan pola cuaca. Meskipun iklim Bumi secara alami berfluktuasi selama jutaan tahun, perubahan yang kita alami saat ini terjadi dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Para ilmuwan sepakat bahwa kegiatan manusia, terutama pembakaran bahan bakar fosil yang melepaskan gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO), adalah penyebab utama pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim (IPCC, 2021).

Dampak perubahan iklim sudah terlihat jelas di berbagai belahan dunia. Salah satu indikator paling nyata adalah kenaikan suhu global. Menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), tahun 2020 adalah salah satu dari tiga tahun terpanas yang pernah tercatat, dengan suhu rata-rata global sekitar 1,2C di atas tingkat pra-industri (WMO, 2021). Kenaikan suhu ini mungkin terdengar kecil, tetapi dampaknya sangat signifikan.

Peningkatan suhu global telah menyebabkan pencairan es di kutub dan gletser di seluruh dunia. Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Nature menunjukkan bahwa laju kehilangan es di Greenland dan Antartika meningkat enam kali lipat antara tahun 1992 dan 2017 (Shepherd et al., 2018). Pencairan es ini berkontribusi pada kenaikan permukaan laut, yang mengancam komunitas pesisir dan pulau-pulau kecil. Studi yang diterbitkan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences memproyeksikan bahwa kenaikan permukaan laut bisa mencapai 2 meter pada akhir abad ini jika emisi gas rumah kaca tidak segera dikurangi (Bamber et al., 2019).

Selain itu, perubahan iklim juga meningkatkan frekuensi dan intensitas cuaca ekstrem. Badai tropis, seperti Badai Harvey di AS pada 2017 dan Siklon Idai di Afrika pada 2019, menjadi lebih kuat karena pemanasan lautan. Gelombang panas juga menjadi lebih sering dan lebih intens. Gelombang panas Eropa pada 2019, yang menyebabkan rekor suhu tertinggi di beberapa negara, dikaitkan dengan perubahan iklim oleh studi World Weather Attribution (WWA, 2019). Di sisi lain, beberapa wilayah mengalami kekeringan parah, seperti di Australia pada 2019-2020, yang memicu kebakaran hutan terburuk dalam sejarah negara itu.

Dampak perubahan iklim juga terlihat jelas pada keanekaragaman hayati. Laporan dari Platform Antarpemerintah tentang Keanekaragaman Hayati dan Layanan Ekosistem (IPBES) mengungkapkan bahwa sekitar satu juta spesies tumbuhan dan hewan terancam punah, sebagian karena perubahan iklim (IPBES, 2019). Kenaikan suhu mengubah habitat alami, memaksa spesies untuk bermigrasi atau beradaptasi dengan cepat. Terumbu karang, yang merupakan rumah bagi seperempat dari semua kehidupan laut, mengalami pemutihan massal akibat pemanasan lautan. Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Science menunjukkan bahwa Great Barrier Reef di Australia kehilangan lebih dari setengah karangnya antara 1995 dan 2017 (Hughes et al., 2018).

Perubahan iklim juga memiliki dampak langsung pada kesehatan manusia. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), perubahan iklim diperkirakan akan menyebabkan sekitar 250.000 kematian tambahan per tahun antara 2030 dan 2050 (WHO, 2018). Gelombang panas menyebabkan kematian langsung, terutama di kalangan lansia dan mereka dengan kondisi kesehatan yang sudah ada sebelumnya. Perubahan pola curah hujan juga dapat memperluas jangkauan penyakit yang ditularkan melalui air dan vektor, seperti malaria dan demam berdarah.

Selain itu, perubahan iklim berpotensi meningkatkan ketidakstabilan global. Kekeringan, banjir, dan gagal panen dapat menyebabkan krisis pangan dan air, terutama di negara-negara berkembang. Laporan dari Bank Dunia memperkirakan bahwa perubahan iklim dapat mendorong lebih dari 100 juta orang ke dalam kemiskinan ekstrem pada 2030 (Hallegatte et al., 2016). Hal ini dapat memicu konflik atas sumber daya yang semakin langka dan meningkatkan migrasi massal, menciptakan "pengungsi iklim".

Menghadapi krisis ini, komunitas internasional telah mengambil beberapa langkah. Perjanjian Paris 2015 adalah tonggak sejarah, dengan hampir semua negara berkomitmen untuk membatasi pemanasan global di bawah 2C, dan idealnya 1,5C, di atas tingkat pra-industri. Namun, menurut laporan terbaru IPCC, dunia tidak berada di jalur untuk mencapai target ini. Bahkan dengan komitmen saat ini, kita diproyeksikan akan mengalami pemanasan lebih dari 3C pada akhir abad ini (IPCC, 2021).

Jadi, apa yang harus dilakukan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline