Lihat ke Halaman Asli

Aloysius Teme

Penggemar sastra dan tulisan ringan yang menginspirasi

Pilihan Terjal, Eliminasi Persepsi Tanpa Referensi

Diperbarui: 16 Februari 2022   22:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Isu yang marak terjadi belakangan ini berkutat dalam satu term "buang", entah dibuang, membuang, atau bahkan terbuang. Ada banyak gagasan yang menjulang tinggi dan tak mampu dimengerti hingga membutuhkan penjelasan lebih. Di sisi lain ada banyak aksi yang terpatri dari kalangan yang merasa dizolimi.

Ini bukanlah hal yang baru dan bukan pula hal yang terlalu lama untuk dikaji. Ini merupakan konflik yang sama dengan wajah berbeda. Segelintir orang bahkan pihak tertentu ingin menabur sensasi tanpa memikirkan apa yang akan dituai nanti. Sama halnya dengan mimpi saat seseorang sudah berada di pinggir jurang terjal yang sedang menanti waktu untuk membuatnya terpental.

Hal ini merupakan gagasan faktual karena nyata terjadi, tapi akan tetap menjadi aktual jika dibahas lagi nanti. Perenungan dan pengalaman akan terus terngiang kembali saat hal itu terulang lagi. Sama halnya dengan orang yang sudah pernah merasakan tangannya tersayat saat membersihkan bumbu dapur kemudian melihat orang lain melakukan hal yang sama. Tentunya pengalaman tersayat akan terus terngiang kembali saat menyaksikan hal yang sama terjadi.

Pilihan memang terjal karena menuntut tanggung jawab. Bahkan pilihan itu kadang amat terjal, tapi kalau pilihan tersebut matang, se-terjal apapun pilihan itu tentu ada solusi yang menanti pasti. Namun, akan terjadi sebaliknya jika pilihan tersebut sudah terjal tanpa kematangan, maka ujung-ujungnya hanyalah penyesalan dan sikap saling mempersalahkan.

Di sinilah setiap orang diajak untuk berpersepsi dengan referensi yang pasti. Persepsi itu pilihan tapi kalau tanpa referensi dapat memicu persoalan.  Banyak slogan mengedepankan bahwa don't judge a book by each cover. Menilai dari luar sama dengan mendengar tapi tidak mendengarkan. Atau dengan kata lain si A bertemu dengan si B di sebuah tempat tanpa saling mengenal terlebih dahulu. Lalu si B berkata kepada si A kamu itu sok cool padahal penampilanmu "kumal". Hal ini tentu menyulut amarah dalam diri si A karena belum saling mengenal tapi sudah dijegal.

Sudah saatnya kita menilai dengan referensi yang pasti. Maksud dari referensi adalah kenali, amati, hayati dan apresiasi agar yang dinilai pun merasa dihargai. Ada banyak cara untu mengenal, ada banyak cara pula untuk mengamati, tapi hanya ada satu cara untuk menghayati yakni mengalami agar apresiasi itu tidak sebatas fiksi.

Seni menilai tidak hanya menuntut pra pemahaman akan sesuatu tapi juga keterbukaan untuk mengenal dan menerima sesuatu itu. Jika hanya pra pemahaman belaka, maka persis kita berada pada pilihan terjal yang menanti utuk terpental. Sering sekali dikumandangkan bahwa pengalaman adalah guru terbaik, karena mengalami berarti sudah berada di dalam situasi dan tahu apa yang terjadi. Sedangkan persepsi tanpa referensi kadang hanya ingin menuai sensasi tanpa tahu isi apalagi situasi yang terjadi.

Sudah saatnya persepsi tanpa referensi dieliminasi sebab zaman ini bukanlah zaman kuno yang sulit mencari saksi. Zaman ini adalah zaman teknologi atau zaman milenial yang sulit untuk mencari siapa yang tidak tahu apa yang terjadi. Sekali bersuara semua orang mampu mengetahui hal tersebut lewat media sosial. Dengan demikian, kematangan pilihan hendaknya ditopang oleh persepsi dan referensi pasti agar terjalnya pilihan mamou dilewati tanpa ada yang terzolimi. Karena akan lebih mudah untuk mengobati sakit gigi daripada sakit hati yang terus terpatri.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline