Lihat ke Halaman Asli

Jihad

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Engkoh Pendi, demikian saya memanggil pedagang toko kelontong di kompleks perumahan saya. Entah siapa nama sebenarnya, tapi yang jelas dia adalah salah satu dari sekian banyak warga Tionghoa di NKRI yang memang ulet bekerja dan tidak mengenal lelah. Dapat anda sekalian bayangkan, jam kerjanya hampir tidak mengenal waktu. Pagi-pagi ketika saya berangkat kerja melewati depan tokonya, engkoh Pendi sudah melayani pembeli yang kebanyakan ibu-ibu. Ketika lepas maghrib saya pulang kerja pun masih terlihat engkoh Pendi melayani pembeli, terkadang bergantian dengan istrinya. Biasanya jam 9 malam toko itu baru tutup. Anak-anaknya - dua orang - satu sekolah dengan anak saya di SD negeri tak jauh dari kompleks.


Sebenarnya tidak ada yang terlalu istimewa dengan keluarga engkoh Pendi, termasuk anak-anaknya. Keluarga engkoh Pendi adalah tipikal keluarga kebanyakan pada strata kelas keluarga pas-pasan, kurang tidak, berlebihan apalagi. Namun yang membuatnya istimewa di mata saya adalah keuletan kerjanya, dan satu pikiran sederhana yang pernah dia sampaikan kepada saya.


*****


"Keluarga saya di Pontianak sana termasuk keluarga miskin, pak. Saya sebenarnya anak pertama dari 5 orang bersaudara. Sekolah hanya sampai SMA, habisnya mau minta biaya dari siapa buat nerusin kuliah?" O iya, engkoh Pendi ini selalu memanggil 'pak' kepada setiap orang, termasuk kepada saya. Masa SMA-nya dijalani dengan susah payah sambil bekerja serabutan: di bengkel cuci mobil dan terkadang membantu menjaga toko teman ayahnya. Jauh dari hingar-bingar kesenangan gaya anak-anak SMA ibukota. Dengan modal uang saku seadanya dan pinjaman dari teman ayahnya, engkoh Pendi muda nekad menjejakkan kakinya di ibukota yang sama sekali belum dikenalnya dengan hanya berbekal secarik kertas kecil dari teman ayahnya bertuliskan alamat seseorang.


Mendengar kisahnya terkadang saya tidak percaya, namun bukti keuletan di depan mata itulah yang membuat saya meyakini ceritanya. Melihatnya bekerja lebih dari separuh hari terkadang membuat saya bertanya-tanya dalam hati 'kapan lah orang ini menikmati hidupnya sendiri'. Pikirannya yang sederhana terkadang juga membuat saya terheran-heran, bagaimana mungkin buah pikiran sederhana ini mampu menempa dan menghasilkan keuletan luar biasa dalam diri engkoh Pendi.


"Saya kerja begini ini buat masa depan anak dan keluarga saya, pak. Saya tidak kepingin anak-anak saya menderita seperti masa muda bapaknya dulu!"


Engkoh Pendi, semua orang punya pikiran yang sama dengan engkoh. Itu wajar dan manusiawi sekali. Saya pun demikian. Anda pun demikian. Semua orang pun demikian. Tidak ada orang yang kepingin anak-anaknya mengalami kesusahan. Semua orang ingin membahagiakan keluarganya, sebab mereka tahu dan paham benar arti 'tidak punya apa-apa'. Justru dengan merasa 'tidak punya apa-apa' itulah semua orang berusaha memaksimalkan segala daya dan upaya yang ada dalam dirinya untuk dapat memiliki sesuatu yang terbaik yang dapat dipersembahkan bagi keluarganya. Untuk kebahagiaan anak-anaknya, dan demi kemajuan kehidupan itu sendiri.


Betapa indah menyaksikan mozaik kehidupan ini. Keindahan yang datang dari sebuah kesederhanaan. Dan kebersahajaan.


*****


Malam itu ketika anak-anak dan istri saya sudah tertidur pulas, saya menghampiri buku-buku sekolah anak saya dan membukanya satu demi satu, halaman demi halaman. Saya perhatikan bentuk tulisan tangan anak saya. Tulisan anak-anak, ya pating celiker. Sejenak saya tersenyum melihat sebentuk tulisan huruf besar 'G' berada ditengah-tengah sebuah kata. Dalam hati saya berjanji untuk mengingatkan anak saya tentang huruf 'G' ini besok pagi ketika mereka sudah bangun. Agar mereka belajar tidak membuat kesalahan, karena kesalahan dapat berbuah kegagalan. Dan saya tidak ingin mereka gagal!


Sejenak kemudian saya merenungi kata gagal, dan tiba-tiba saja ada rasa takut menyusup diam-diam dalam lubuk hati saya. Diam-diam pula saya bertanya kepada diri saya sendiri apakah selama ini saya sudah mengajarkan arti 'keberhasilan' dan 'kegagalan' kepada anak-anak saya? Saya takut saya belum mengajarkan ini. Saya semakin takut seandainya keinginan untuk membahagiakan mereka yang selama ini saya lakukan justru berbuah kegagalan bagi diri mereka sendiri. Bukankah mereka - anak-anak saya dan anak kita semua - nantinya akan memiliki kehidupan mereka sendiri? Bagaimana mungkin saya berharap anak-anak saya akan berhasil seandainya idiom sederhana tentang perasaan 'tidak punya apa-apa' telah lenyap dalam kamus kehidupan mereka gara-gara saya bekerja terlalu keras membanting-tulang menyediakan apa saja kebutuhan mereka tanpa mereka tahu apa dan bagaimana rasanya 'tidak punya apa-apa' itu? Entah kenapa tanpa terasa air mata saya meleleh membasahi pipi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline