Lihat ke Halaman Asli

Agus Sujarwo

Founder Imani Foundation

Belajar Menahan Diri

Diperbarui: 8 Maret 2022   16:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Sejak ditemukannya istilah “Titik Tuhan” melalui ilmuwan Barat yang digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, dunia gempar dengan penemuan konsep spiritual quotient (SQ). Kecerdasan spiritual menjadi tonggak penyangga dan fondasi yang harus ada dalam intelligence quotient (IQ) dan emotional quotient (EQ), bahkan mengalahkan keduanya.

Hasil temuan Danah Zohar dan Ian Marshall ini menghasilkan sebuah simpulan baru bahwa untuk meraih keberhasilan atau kesuksesan, tidak cukup hanya memiliki kecerdasan intelektual dan emosional, tetapi juga harus melengkapi dengan kecerdasan spiritual. 

Menurut keduanya, semua manusia yang lahir ke dunia ini sudah dibekali kapasitas tertentu dalam otaknya yang dapat digunakan untuk mengakses sesuatu yang paling fundamental dalam hidupnya. Jika kapasitas itu diaktifkan, maka yang bersangkutan akan memiliki vitalitas hidup yang bagus. Kapasitas otak yang berfungsi untuk mengakses sesuatu yang paling fundamental itulah yang kemudian mendapatkan sebutan ilmiah sebagai kecerdasan spiritual.

Melalui kecerdasan spiritual, manusia selalu terdorong untuk menemukan makna hidup yang lebih dalam, nilai-nilai fundamental yang lebih bermanfaat, kesadaran akan adanya tujuan hidup yang lebih panjang, dan peran yang dimainkan oleh makna, nilai, dan tujuan itu dalam proses berpikir, berkata, mencari strategi, dan bertindak. 

Dengan adanya kecerdasan spiritual tersebut, seseorang akan memiliki kesadaran yang tinggi, kualitas hidup yang lebih baik karena bersumber dari masa depan, kemampuan untuk menghindar dari hal-hal yang tidak penting, menemukan tujuan hidup, dan berbuat lebih banyak untuk orang lain.

Salah satu proses pembentukan kesadaran diri itu adalah melalui puasa. Manusia menjalankan ibadah puasa bukan karena dorongan manusia dan materi, melainkan karena keikhlasan. Lihatlah puasa dan bandingkan dengan amal ibadah lain seperti infak atau salat. Aktivitas puasa tidak mudah dilihat kecuali hanya oleh sang pelaku dan penciptanya.  Bahkan Allah SWT pun melalui Rasulullah saw. menegaskan, “Puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya.”

Saat saya menulis bagian ini, saya melakukannya sambil menikmati beberapa potong kue kelapa yang tersimpan rapat di toples dan segelas sereal vanila hangat menjelang waktu sahur. Rintik hujan masih menetes di atap rumah dan dedaunan. Disertai suara binatang malam yang menjadikan malam begitu hening dan memberikan perasaan tenang.

Sebelum saya menikah, saya membiasakan diri untuk berpuasa daud. Sehari berpuasa dan sehari berbuka. Kadang saya sahur dan kadang melewatkannya. 

Ada ketenangan pikiran dan jiwa saat saya berusaha menjadi bagian dari orang-orang yang rajin berpuasa. Saya menikmati raga yang sehat dan stamina yang prima. Perlahan, pemahaman akan kebijaksanaan dalam menyikapi perjalanan hidup pun juga terus menguncup dan semakin berkembang.

Istri paman saya, adalah sosok yang seingat saya selalu mempertahankan kebiasaan berpuasa. Ia rajin berpuasa Senin dan Kamis. Dahulu, saat saya tinggal di rumah paman, saya sering menemani makan sahur. 

Kadang ia sahur dengan semangkuk mi rebus. Kadang dengan segelas teh manis hangat. Paman saya kini telah berpulang. Dan istri paman saya, Allah berkenan memberi usia yang panjang. Paman saya pernah menjalani dua kali perawatan medis: di Jakarta dan si Singapura. Sementara istri paman saya senantiasa diberi kesehatan, saya jarang mendengar kabar beliau sakit. Kondisi fisik yang senantiasa terjaga dan raut wajah yang selalu ceria. Hampir tidak ada perbedaan antara ia sepuluh tahun lalu dan ia saat ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline