Matahari sinarnya mulai menyengat. Sepulang dari pasar, Mbah Trimah merapikan tebaran biji cengkeh. Ia mengangkat sebuah tampah dan menyandarkannya di bagian depan tubuhnya. Jemari tangannya yang mulai menua, penuh oleh guratan otot berwarna biru kehitaman menyusuri butir demi butir cengkeh di atas tampah. Meratakannya berulang-ulang. Ke kiri dan ke kanan.
Mbah Trimah menjadi teringat masa-masa kecil sang cucu, Asih. Asih adalah cucu satu-satunya dari kedua buah hati yang dibesarkannya. Anaknya yang pertama, Sukri, sekarang sudah bekerja di Kalimantan. Sukri diajak oleh Pak De Tumiran merantau ke seberang. Waktu Pak De pulang Lebaran, ia cerita ke Sukri tentang keberhasilannya di Kalimantan.
“Kri, kamu kan sudah lulus SMEA, belum dapet kerjaan to? Ikut Pak De saja gimana?”
“Belum Pak De.”
“Pak De sudah 20 tahun di Kalimantan. Pak De awalnya ikut rombongan tenaga kerja dari Kecamatan yang akan diberangkatkan ke Kalimantan. Pak De sangune waktu itu cuma 10.000, sama pakaian melekat di badan.”
“Terus Pak De?”
“Hari pertama di sana Pak De tinggal sama rombongan di rumah bedeng. Ukuran 3 x 5 meter. Ndak ada jendela karena dindingnya terbuat dari tripleks semua. Sementara bagian atasnya seng. Sudah di luar panas, kalau pas Pak De lagi giliran ndak kerja, di dalam rasanya sudah seperti di neraka.”
“Neraka?”
“Upomo itu Le. Di pinggir hutan Le. Kalau Pak De mau minum ya harus cari sungai buat ambil air terus dimasak. Kalau ndak ada minyak ya kadang Pak De minum air mentah. Pak De hidupnya rekoso. Apalagi makan. Sudah ndak tentu Le. Pagi-pagi buta Pak De harus ikut konvoi truk ke hutan kelapa sawit. Sesampai di hutan, Pak De harus menyiangi rumput-rumput liar, memangkas pelepah-pelepah tua, dan mengambil nira. Kalau ndak hati-hati Pak De pernah hampir dipatuk kobra. Untung Pak Lek Marno sigap menghalau ularnya. Panjangnya satu meter ada bercak kuning dan hitamnya. Nanti kalau sudah dapat niranya, sore Pak De baru pulang lagi ke rumah bedeng. ”
“Makannya kapan Pak De?”
“O iya, ya sepulang dari hutan Le. Pak De ndak pernah sarapan. Kadang kalo lagi ada rezeki, sopir truknya kadang ngasih Pak De telo pendem. Tapi yo ndak tiap hari. Pelan-pelan Pak De belajar nabung. Waktu ke Kalimantan kan Pak De sudah kawin sama Bu De Marni. Karena kerja Pak De tekun, Pak De dikasih tanah buat digarap sama yang punya hutan.”