Lihat ke Halaman Asli

Agus Sujarwo

Founder Imani Foundation

Pasar Pon

Diperbarui: 1 Maret 2022   21:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Waktu masih menunjukkan pukul tiga pagi. Blarak-blarak itu saling terayun ke depan dan ke belakang. Kibasannya menghasilkan percik-percik api yang menghiasi langit malam. Bersama hawa dingin yang menusuk tulang dan malam yang pekat bertabur kabut, wanita-wanita perkasa itu menyusuri jalan dengan membawa gendongan berisi barang dagangan. Sesekali mereka berbagi sapa kepada orang-orang yang mereka temui di jalan. Dan kemudian mereka bergabung membentuk rombongan menuju pasar.

        “Tindak Mbah?” seorang wanita paruh baya menyapa sang nenek renta.

        “Inggih”, balas Mbah Trimah.

Mbah Trimah menggeser balutan kain gendongannya lalu berjalan di belakang mengikuti wanita paruh baya yang tadi menyapanya. Di punggungnya, sebuah tenggok terisi penuh oleh barang dagangan. Biji kopi kering yang kemarin pagi ia jemur, dua ikat petai cina yang ia peroleh dari Lek Marto sepulang Mbah Trimah dari kebun, tiga butir buah kelapa tua yang sudah disiangi kulit luarnya, dan rempah palawija. Meski sudah menumpuk, Mbah Trimah masih menambahinya dengan empat gelondong gula aren yang ia masak kemarin sore. 

        Tidak berapa lama mulai terlihat pendar cahaya di ujung belokan jalan. Pasar pagi buta itu sudah dekat. Pasar ini dalam sepekan hanya ramai dua hari, yaitu di hari yang dalam kalender Jawa adalah Legi dan Pon. Di depan pintu masuk pasar, berderet angkutan umum bak terbuka yang juga penuh oleh barang dagangan untuk dijual. Sebagian dagangan memang untuk dijual di pasar, namun sebagian lagi adalah milik para tengkulak. Mereka biasanya membeli dengan harga yang semurah-murahnya dari para petani kemudian menjual semahal-mahalnya saat mereka ke kota.

        Mbah Trimah membuang blaraknya sesaat sebelum memasuki gerbang pasar. Ia mencari tempat untuk beristirahat. Di bawah pohon waru, Mbah Trimah kemudian berhenti, melepaskan ikatan kainnya, meletakkan tenggoknya di tanah, dan berjongkok di samping tenggoknya. Tangan kanannya yang terlihat keriput dan berbercak abu-abu terlihat terkulai di bibir tenggok. Ia kemudian membuka satu lilitan kain lagi di pinggangnya. Beberapa gepok receh dan lembaran uang kertas ia ambil dan ia hitung. Lilitan kain ini punya dua kemudahan buat Mbah Trimah. Untuk dijadikan sabuk kemben, dan untuk menyimpan uang.

        Orang-orang di kampung Mbah Trimah memang jarang yang memiliki dompet ataupun tas untuk menyimpan uang. Mereka lebih suka menyimpannya di bawah bantal tidur, di saku celana, atau di batang-batang bambu tua yang telah dilubangi di beberapa ruasnya. Batang bambu itu biasanya panjang dan diikatkan di tiang dapur rumah. Setiap kali mereka ingin mengambilnya, mereka tinggal membuka ikatan talinya, menidurkan batang bambunya agar keluar uang-uang yang telah mereka simpan.

        Mbah Trimah lebih suka menyimpan uang di balutan kain kembennya. Malah, ia lebih dari sebatas tempat menyimpan uang. Ia memasukkan uang recehan, uang lembaran, juga balsam gosok, dan kinang. Seperti pagi itu, Mbah Trimah sempat mengoleskan balsam ke bagian pinggang kirinya. Sementara kinangnya ia belum meracik lagi. Karena kebiasaannya menginang inilah, meski usianya sudah renta, giginya masih terlihat putih dan kuat.

        Sesosok wanita bergincu tebal tampak mendekati Mbah Trimah.

        “Mbah, gulanya berapa?”

        “Sedanten, dua puluh ribu.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline