Lihat ke Halaman Asli

Nasib Pengungsi Erupsi Gunung Sinabung, masih terkatung-katung

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13920944171487992225

Ketika sebagian orang di Indonesia ini sibuk mengurusi bagaimana bisa duduk di singgasana kekuasaan lewat pemilu 2014. Lalu melupakan hal-hal krusial bangsa ini, salah satunya seperti ketidak pastian nasib para warga yang hingga kini mengungsi ditempat-tempat pengungsian, terutama di Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.

Sinabung Erupsi pada September 2013 yang lalu, menyisakan luka dan sedih karena 3 desa dalam radius 3km (Desa Suka Meriah, Desa Bekerah dan Desa Simacem) tidak dapat di tempati lagi. Dalam arti bahwa warga penduduk desa tersebut harus direlokasi ke tempat yang aman.

Saat ini, Maret 2014 (6 bulan), warga yang berasal dari 3 desa tersebut, masih menanti kepastian kapan akan relokasi. BNPB dan Pemkab Karo sendiri, masih belum bisa memastikan kapan dan dimana relokasi lahan untuk warga yang mengungsi akibat erupsi.

Bapak Bilah Sembiring (40), warga dari desa Sigarang-garang (yang hingga saat ini masih mengungsi. Dan desa Sigarang-garang sendiri berjarak 5 km dari gunung, namun masih belum diperbolehkan pulang oleh BNPB) mengatakan bahwa "kapanlah semua ini berakhir nak ku, gunung itupun tak ada yang tau kapan akan meletus, jangankan pemerintah Karo, vulaknologi di Jakarta sana pun tak tau kapan akan meletus."

"Kalo meletus kan tau kita kapan akan kembali ke desa, tapi kalo tak meletus-meletus, ya gini terus lah, hidup di pengungsian serba tak jelas" tutur nya kembali. Bapak Bilah juga mengatakan bahwa sekarang hidupnya semakin sulit, dia harus membiayai biaya sekolah anaknya yang sekarang harus masuk ke tingkat perguruan tinggi. "Bayangkan ajalah nak, kemaren untuk memasukkan anakku yang paling besar ke kuliah, aku harus mengeluarkan uang sebesar Rp. 12.ooo.000, itu 2 tahun yang lalu. Gimana pulak dengan sekarang, mungkin lebihlah harus dikeluarkan. Nah, dari mana aku bisa dapatkan biaya itu, sementara aku tak ada pekerjaan yang bisa menghasilkan uang." ujarnya kemudian.

Persoalan diatas adalah  sekelumit kisah yang dihadapi oleh warga yang mengungsi. Banyak persoalan yang terjadi, hasil dari assesment singkat yang dilakukan oleh Yayasan Ibu - Bandung dan APePeBe (Aliansi Pemuda Peduli Bencana) bahwa tingkat jenuh warga di pengungsian cukup tinggi, disebabkan warga tidak banyak melakukan kegiatan maupun pekerjaan, rutinitas yang terjadi berupa piket masak, piket kebersihan dan selebihnya duduk-duduk baik di posko maupun didepan gerbang posko. Selain itu, intensitas yang terus menerus terjadi seperti itu menyebabkan gesekan-gesekan tertentu bisa menyebabkan tingkat konflik antar warga juga terjadi. Sehingga perlu dilakukan "Relokasi Warga" untuk meminimalisir gesekan-gesekan tersebut.

Sementara bantuan yang datang ke posko-posko pengungsian juga sudah mulai berkurang, entisitasnya bisa 3 kali dalam 2 minggu, menyebabkan kebutuhan warga di pos pengungsian menjadi berkurang.

Harapannya Warga yang mengungsi harus segera di relokasi agar tidak terjadi konflik besar baik diantara warga mapun antara warga dan pemerintah. (alley/Kabanjahe, 29 Maret 2014)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline